Indonesia perlu mempersiapkan industri sawit dalam negeri untuk menjawab permintaan global terkait ketelusuran tanaman sawit yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberlanjutan. Sebagaimana diketahui, kebijakan EUDR (European Union Deforestation Regulation) meminta kepastian akan legalitas lahan serta sertifikasi produksi dan produk.
Dengan sekitar 41% produksi nasional yang berasal dari petani kecil, INDEF meminta Pemerintah Indonesia memberikan fokus penuh pada pemberdayaan petani sawit kecil. Afaqa Hudaya, Peneliti Mitra INDEF, menyebut bahwa sebagian besar petani kecil Indonesia masih berada di luar sistem keberlanjutan.
Baca Juga: Mitos atau Fakta: Benarkah Minyak Sawit Jadi Penyebab Kanker?
“Data menunjukkan bahwa 69% petani belum mengetahui titik koordinat kebunnya (geolokasi) dan 67% belum memiliki Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan (STD-B) yang masih berlaku. Walaupun 83% memiliki bukti kepemilikan lahan, validitas adimnistratif dan pemetaan spasial yang diperlukan untuk traceability masih sangat terbatas,” ujarnya dalam diskusi daring yang digelar Selasa (14/10/2025).
Menanggapi hal tersebut, Afaqa menyampaikan bahwa petani butuh dukungan finansial dari pemerintah. Menurutnya, strategi memperkuat daya saing petani kecil harus diarahkan pada pembiayaan transisi hijau, program pelatihan berkelanjutan, dan penyediaan teknologi sederhana agar mereka dapat masuk dalam rantai pasok sawit global.
Senada dengan apa yang disampaikan INDEF, Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC), Musdhalifah Machmud, mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk mengakselerasi program-progamnya sebelum implementasi EUDR benar-benar dilakukan pada 1 Januari 2027.
“Semua pihak diharapkan dapat melakukan percepatan-percepatan agar petani kita bisa memenuhi ketentuan-ketentuan di dalam EUDR, utamanya geolocation, kemudian traceability, supply chain, dan penyiapan dokumen-dokumen yang dibutuhkan,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Salah satu yang menjadi concern Musdhalifah adalah capaian ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang masih rendah. Menurut data Kementerian Pertanian pada tahun 2024, lahan perkebunan kelapa sawit yang memiliki sertifikasi ISPO baru di angka 37%, berbeda dengan Malaysia yang telah mencapai angka 92% capaian MSPO.
“MSPO diapresiasi karena sudah bisa meng-cover sampai dengan 92% smallholders-nya. Meski Uni Eropa belum mengakui bahwa MSPO sudah memenuhi standar EUDR, setidaknya ini menunjukkan dukungan dari Pemerintah Malaysia. Standar EUDR, traceability adalah standar perdagangannya, MSPO hanya dukungan. Sama dengan ISPO yang ada di Indonesia,” tegasnya.
Menutup paparannya, Musdhalifah mengutarakan beberapa rekomendasi, yakni:
- Melakukan harmonisasi antara EUDR dan standar nasional seperti ISPO;
- Pengecualian bersyarat bagi petani kecil dalam EUDR;
- Penguatan kapasitas kelembagaan seperti koperasi petani dalam pengelolaan data, pemasaran, dan pembiayaan;
- Dialog bilateral dan regional (misalnya melalui CPOPC, ASEAN, maupun China) untuk menjembatani perbedaan standar keberlanjurtan.