Mungkin hampir di setiap tahunnya, banyak karyawan yang memutuskan untuk resign dari pekerjaan pasca-Lebaran. Banyak di antaranya yang memilih untuk mengundurkan diri dan mencari peruntungan baru di perusahaan lain, umumnya setelah menerima Tunjangan Hari Raya (THR).

Resign merupakan hak bagi setiap pekerja, yang mana bisa sewaktu-waktu mengajukan pengunduran diri kepada perusahaan karena berbagai alasan. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa gelombang resign biasa terjadi pasca-lebaran.

Kementerian Ketenagakerjaan melalui unggahan di akun Instagram resmi miliknya, @kemnaker, sempat membagikan ulasan mengenai berbagai alasan di balik keinginan para pekerja mencari peruntungan karier di perusahaan lain pasca-lebaran di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Sudah mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) yang ditunggu-tunggu;
  2. Jatah cuti sudah habis, sehingga mencari tempat pekerjaan lain untuk mendapatkan jatah cuti kembali;
  3. Banyak lowongan atau mendapatkan tawaran pekerjaan di perusahaan lain yang juga mengalami gelombang resign pasca-lebaran;
  4. Waktu yang tepat untuk memulai hal baru.

Fenomena resign massal pasca-lebaran tentu menjadi tantangan bagi setiap perusahaan. Lantas, bagaimana langkah yang harus dilakukan para pimpinan untuk mengantisipasi hal tersebut?

Baca Juga: Mau Tambah Cuan Buat Hari Raya? Ini 5 Ide Bisnis Jelang Lebaran Tanpa Modal Besar

Pemimpin Redaksi Olenka, Cahyo Prayogo, berbagi kiat perihal mengantisipasi fenomena gelombang resign pasca-lebaran. Menurutnya, dalam hal ini dapat dilihat dari dua sisi, perusahaan dan karyawan.

Dari sisi perusahaan, dapat diantisipasi atau dibuat semacam mitigasi pengunduran diri karyawan dengan membuat metriks kepuasan kerja karyawan. Metriks tersebut dapat ditinjau dari berbagai aspek, mulai dari pekerjaan, kesejahteraan, lingkungan, dan kesempatan bertumbuh.

"Masing-masing aspek tersebut bisa diturunkan lagi jadi beberapa misal, pekerjaan: jenis pekerjaan, jam kerja, fleksibilitas kerja, dll. Kesejahteraan: gaji, tunjangan, asuransi, dll. Lingkungan kerja: rekan kerja, atasan, perlakuan yang adil, dll. Kesempatan bertumbuh: promosi, pelatihan, kesempatan menyumbang gagasan, dll," ujar Cahyo Prayogo.

"Masing-masing matriks itu bisa dinilai dengan menggunakan skor skala 0-100. Misal, contoh kasus di perusahaan X. Pekerjaan: 90; kesejahteraan: 20; lingkungan kerja: 90; kesempatan bertumbuh: 90. Kalau dilihat contoh nilai tersebut, perusahaan X ternyata cukup nyaman untuk bekerja, ada fleksibilitas waktu, lingkungan kerja suportif, ada kesempatan buat bertumbuh. Tetapi, perusahaan masih punya nilai merah di kesejahteraan," jelasnya.

"Tugas perusahaan X saat ini memperbaiki nilai merah itu menjadi lebih baik. Karena dengan skor indikator kesejahteraan 20 berarti ada risiko karyawan akan resign. Kalau perusahaan sudah memperbaiki skor seluruh indikator dan karyawan masih resign maka itu sudah di luar kontrol perusahaan. Yang salah adalah, perusahaan tidak sadar ada skor yang merah. Atau perusahaan sadar ada skor yang merah tetapi tidak ada upaya untuk memperbaiki nilai tersebut," tambahnya.

Baca Juga: 5 Sepatu Ikonik dari Brand Ternama, Cocok Dipakai saat Lebaran Nih!

Selanjutnya dari sisi karyawan. Menurut Cahyo, jika saat ini karyawan sedang bekerja di perusahaan dengan skor kepuasan mayoritas merah, dan melihat tidak ada upaya perusahaan untuk memperbaikinya maka punya hak untuk resign.

Cahyo Prayogo kembali menegaskan, fenomena resign pasca-lebaran dapat diantisipasi. Dengan catatan, apakah dilakukan antisipasi atau tidak, balik lagi ke perusahaan masing-masing.

Menurutnya, ada tiga faktor yang menyebabkan perusahaan tidak melakukan antisipasi. Di antaranya adalah: 

1. Tidak tahu kondisi kepuasan karyawan

2. ⁠Tidak tahu cara memperbaiki skor merah

3. ⁠Tidak ingin/sengaja membiarkan skor merah karena memang ingin karyawan untuk resign, supaya dapat mencari karyawan baru.

"Kalau aku melihat, lebaran itu memang dijadikan momentum buat mengajukan resign karena faktor THR. Yang perlu diingat adalah karyawan itu keluar bukan karena sudah dapat THR, tapi memang perusahaan memiliki skor kepuasan kerja karyawan yang buruk," imbuhnya.