Produk minyak sawit merah yang selama ini kurang dikenal masyarakat Indonesia tengah memasuki babak baru dalam pengembangannya. Jika sebelumnya minyak sawit merah hadir dalam bentuk kental dan padat, kini teknologi modern memungkinkan produk ini diolah menjadi bentuk cair yang lebih mudah diterima konsumen.
Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), Darmono Taniwiryono, menjelaskan bahwa minyak sawit merah sejatinya memiliki sejarah panjang dalam tradisi pangan masyarakat dunia. Produk tersebut memiliki warna merah cerah dengan tekstur yang kental, sehingga sangat berbeda dengan minyak goreng yang biasa digunakan masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Alasan Minyak Goreng Lebih Populer Dibanding Minyak Sawit Merah
“Minyak sawit merah berbentuk padat ini sudah dikonsumsi masyarakat di kawasan Afrika Barat sejak 5.000 tahun lalu,” ungkap Darmono.
Meski sudah diperkenalkan ke Indonesia sejak 2015, minyak sawit merah tidak langsung mendapat sambutan luas. Sebagian besar masyarakat masih terbiasa menggunakan minyak goreng sawit cair berwarna bening. Darmono menilai selera masyarakat menjadi salah satu tantangan terbesar.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Minyak Sawit Merah
“Inilah yang tipe Afrika Barat. Karena masyarakat Indonesia tidak suka dengan taste dan tekstur yang seperti ini, maka perlu dilakukan inovasi,” jelasnya.
Inovasi itu diwujudkan melalui penerapan teknologi fraksinasi, rafinasi, dan degumming yang mulai dikembangkan pada 2025. Melalui proses ini, fraksi cair atau olein berhasil dipisahkan dari fraksi padat atau stearin. Fraksi cair itulah yang kemudian menghasilkan minyak sawit merah dalam bentuk cair, sedangkan fraksi padat dapat diolah menjadi produk lain.
“Dengan teknologi rafinasi, fraksinasi, dan degumming, bisa diperoleh olein yang cair. Sementara fraksi padat atau stearin juga tetap bermanfaat untuk produk turunan,” ujar Darmono.
Baca Juga: Mengulik Manfaat Minyak Sawit Merah yang Kaya Nutrisi dan Vitamin
Perbedaan preferensi antara masyarakat Indonesia dan Afrika Barat semakin menegaskan pentingnya inovasi tersebut. Jika di Afrika minyak sawit padat tetap menjadi pilihan utama karena menjadi bagian dari warisan nenek moyang mereka, di Indonesia sebaliknya.
“Orang Indonesia lebih suka yang cair daripada yang seperti ini,” kata Darmono.
Menariknya, fraksi padat yang dihasilkan dari proses pemisahan tidak lantas terbuang. Stearin justru dapat menjadi bahan dasar berbagai produk bernilai tambah. Darmono menuturkan, fraksi ini bisa digunakan untuk kosmetik seperti pelembap bibir, sabun, hingga lilin ramah lingkungan.
Baca Juga: Kata Pakar soal Manfaat Minyak Sawit untuk Kesehatan: Sumber Energi hingga Pelindung Imunitas
“Ini bagus untuk bahan kosmetik, untuk bibir pecah-pecah. Bisa juga dibuat sabun, salah satunya produk Tropical Red, bahkan bisa diolah menjadi lilin yang tidak berasal dari minyak bumi sehingga lebih ramah lingkungan,” jelasnya.
Melalui pendekatan ini, minyak sawit merah tidak hanya hadir dalam bentuk yang lebih mudah diterima konsumen, tetapi juga membuka peluang industri turunan yang lebih beragam. Inovasi teknologi memungkinkan produk yang awalnya sulit diterima pasar dalam negeri kini bertransformasi menjadi komoditas dengan potensi ekonomi sekaligus ramah lingkungan.
Harapannya, pengembangan minyak sawit merah cair dapat menjadi pintu masuk untuk memperluas pemanfaatan produk sawit nasional. Dengan dukungan industri dan penerimaan konsumen, minyak sawit merah bisa menempati posisi baru dalam pasar minyak nabati tanah air.
Baca Juga: Pemerintah Denmark Dukung Praktik Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan di Indonesia
“Ke depan, akan lebih mudah memperkenalkan virgin palm oil dalam bentuk cair ini karena lebih sesuai dengan preferensi masyarakat Indonesia,” tutup Darmono.