Budi Daya TOGA di Karangkitri

Pengelolaan TOGA di Karangkitri berfokus pada budi daya tanaman secara organik. Penggunaan pupuk alami seperti pupuk kandang dan kompos menjadi prioritas. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara manual atau menggunakan pestisida nabati dari bahan alami seperti daun mimba dan tembakau. Budi daya organik ini bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kualitas tanaman obat sehingga menghasilkan simplisia yang aman dan berkualitas tinggi.

Proses produksi simplisia (obat dari bahan alami) membutuhkan perhatian khusus mulai dari panen hingga pascapanen. Waktu panen disesuaikan dengan bagian tanaman yang akan diambil. Daun dipanen saat fotosintesis mencapai puncaknya, sedangkan rimpang dipanen saat tanaman mulai menguning. Setelah panen, pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai 12% agar mencegah reaksi enzimatik dan pertumbuhan mikroorganisme. Metode pengeringan meliputi pengeringan dengan sinar matahari, pengeringan diangin-anginkan, atau menggunakan ruang pengering. Penyimpanan simplisia juga harus diperhatikan dengan menggunakan wadah kedap udara agar kualitas tetap terjaga hingga siap diolah menjadi produk obat tradisional atau fitofarmaka.

Baca Juga: Kementan Kembangkan Pertanian Jagung di Sumsel dengan Program Tumpang Sisip

Tantangan dalam Revitalisasi TOGA

Revitalisasi TOGA di Karangkitri memiliki potensi besar dalam meningkatkan kesehatan dan ekonomi masyarakat. Namun, upaya ini menghadapi beberapa tantangan sepert rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemanfaatan lahan pekarangan untuk menanam tanaman obat. Minimnya informasi dan edukasi membuat implementasi di masyarakat masih rendah. Banyak warga belum memahami bahwa lahan pekarangan yang terbatas dapat dioptimalkan untuk menanam tanaman obat yang bermanfaat secara mandiri bagi keluarga.

Salah satu langkah strategis dalam pengembangan TOGA adalah melalui edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Pemerintah dan lembaga terkait perlu mengadakan pelatihan, penyuluhan, dan bimbingan teknis mengenai pentingnya TOGA dan cara budi dayanya. Contoh nyata dari upaya ini terlihat di Kebun TOGA Gadingkasri, Kota Malang, di mana masyarakat memanfaatkan pot dan galon bekas untuk membudidayakan tanaman obat di lahan sempit. Inovasi ini memungkinkan masyarakat perkotaan dengan lahan terbatas tetap dapat memproduksi tanaman obat yang bermanfaat bagi kesehatan keluarga. 

Upaya serupa juga diterapkan di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, di mana akademisi dan masyarakat bersinergi dalam pengelolaan TOGA. Kolaborasi ini meningkatkan produktivitas, memperkuat kemandirian desa, dan menciptakan daya tarik pariwisata berbasis ekowisata. Sinergi ini memungkinkan masyarakat desa memperoleh manfaat ekonomi dari pengelolaan TOGA sekaligus melestarikan kearifan lokal. Di Desa Jatirenggo, Lamongan,  revitalisasi TOGA difokuskan pada peningkatan kesehatan dan ekonomi keluarga mandiri melalui konservasi dan pengelolaan tanaman obat berbasis standar kualitas. Penerapan standar ini bertujuan untuk menjaga kualitas, kemurnian, dan keamanan produk TOGA sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasar nasional maupun global.

Jika tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi melalui edukasi, inovasi, kolaborasi, dan standarisasi, revitalisasi TOGA dapat menjadi model pemberdayaan masyarakat. Upaya ini tidak hanya memperkuat kemandirian keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pengobatan, tetapi juga menciptakan sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat.