Memasuki tahun 2025, Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan ekonomi yang memerlukan perhatian serius dari pemerintahan baru. Penurunan daya beli masyarakat, tekanan pada sektor industri, serta tantangan fiskal dan moneter menjadi fokus utama dalam upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Berkaca pada fakta tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menggelar kegiatan Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 bertema "Tantangan Pelik Kabinet Baru: Meningkatkan Daya Beli, Menopang Industri" pada Kamis, 21 November 2024. Acara yang dihadiri oleh tokoh-tokoh kunci pemerintahan dan ekonom terkemuka ini bertujuan untuk menganalisis dan merumuskan strategi menghadapi tantangan ekonomi di tahun mendatang.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah penurunan daya beli masyarakat. Data menunjukkan bahwa Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024, dengan deflasi terakhir tercatat sebesar 0,12% pada September 2024. Penurunan daya beli ini disebabkan oleh menurunnya pendapatan riil masyarakat dan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Tercatat sebanyak 59.764 orang terkena PHK dari Januari hingga Oktober 2024, dengan sektor industri pengolahan menjadi penyumbang PHK tertinggi.

Baca Juga: Evaluasi Satu Dekade Pemerintahan Jokowi, Indef Sebut Masih Banyak yang Perlu Dibenahi

 "Kami dari INDEF menawarkan bagaimana kemudian 100 hari pertama itu harus bisa dibuktikan bisa mengungkit daya beli masyarakat. Kalau tidak ada, itu kan kita susah untuk bisa optimis dengan ambisi 8 persen itu," ujar Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, pada kamis (21/11/2024).

Mereka menekankan pentingnya 100 hari pertama pemerintahan baru untuk membuktikan kemampuannya dalam meningkatkan daya beli masyarakat. INDEF berpendapat bahwa jika tidak ada peningkatan yang signifikan dalam daya beli masyarakat selama periode awal ini, akan sulit untuk tetap optimis terhadap target pertumbuhan ekonomi yang ambisius sebesar 8 persen.

Baca Juga: Survei Ungkap 88% Konsumen e-Commerce Beli Barang Berdasarkan Rekomendasi AI

Sektor industri, khususnya manufaktur, menghadapi tantangan serius. Eko Listiyanto menjelaskan, "Kalau manufaktur sudah beberapa bulan ini kontraksi terus, ya itu artinya PHK meningkat karena manufaktur melambat ya otomatis kan mereka lama-lama nggak bisa kalau pesanannya sedikit terus kemudian juga penjualannya sedikit atau menurun".

Dalam kesempatan yang sama, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy turut memaparkan target jangka panjang pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

“RPJPN 2025-2045 didesain untuk menjadi pedoman bagi seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, untuk penyusunan dokumen perencanaan pembangunan, baik di pusat, di daerah, untuk sektor swasta, maupun BUMN," jelasnya.

Baca Juga: Peran Tax Amnesty Jilid III bagi Capaian Ekonomi 8%

Rachmat juga menyoroti target penurunan tingkat kemiskinan akan ditekan 0,5 persen sampai 0,8 persen serta ketimpangan dengan kelompok pendapatan antarwilayah juga akan menurun.

Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Restuardy Daud, menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. "RPJPN sebagai dokumen perencanaan harus dapat diterjemahkan di daerah, demikian juga daerah harus selaras dengan kebijakan yang ada di pusat," ujarnya.

Ia menyatakan bahwa RPJPN harus dapat diterjemahkan dan diimplementasikan di tingkat daerah, sehingga setiap kebijakan yang ada di pusat dapat selaras dengan rencana pembangunan daerah.

Acara Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 yang diselenggarakan INDEF menjadi momentum penting untuk membahas tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Dengan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, diharapkan dapat muncul solusi konkret untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan menopang sektor industri demi mencapai target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.