Ekonom menyoroti program tax amnesty jilid III yang diusulkan pemerintah. Sebagai diketahui, DPR memasukkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak atau tax amnesty dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Ajib Hamdani, Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, mengatakan bahwa program tax amnesty, setidaknya, memberikan tiga manfaat bagi pemerintah. Pertama, kebutuhan budgeteir, yaitu untuk menambah pemasukan bagi APBN. Kedua, munculnya harta bersih yang dilaporkan oleh wajib pajak. Yang sebelumnya menjadi bagian underground economy bisa masuk ke Sistem Keuangan Indonesia yang lebih terbuka.
"Dengan begitu, hal itu selanjutnya menjadi aset yang lebih produktif dan masuk dalam putaran perekonomian nasional. Ketiga, bisa membantu memberikan daya ungkit terhadap pertumbuhan ekonomi 8%," ujarnya di Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Meski program ini dinilainya belum ideal, Ajib menilai bahwa tax amnesty juga dibutuhkan Indonesia. Menurutnya, masyarakat Indonesia secara umum masih mempunyai literasi perpajakan yang rendah.
"Untuk golongan masyarakat paham perpajakan saja, budaya taat pajaknya masih rendah. Hal ini tercermin dari tingkat tax ratio Indonesia yang hanya bergerak di kisaran 10%. Tahun 2025, kebijakan coretax system akan diberlakukan. Ini membutuhkan prasyarat wajib pajak mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik. Hal ini yang membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat," urainya.
Baginya, ada dua alasan mengapa tax amnesty masih menjadi program yang kurang ideal. Pertama, kebijakan ini akan memberikan rasa ketidakadilan terhadap wajib pajak yang telah patuh. Mereka yang mengikuti program tax amnesty berarti mengakui bahwa sebelumnya mereka tidak patuh dalam melakukan kewajiban perpajakan.
"Kedua, masyarakat akan cenderung 'meremehkan' kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena 'secara rutin' pemerintah mengeluarkan program tax amnesty," ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah telah menjalankan program tax amnesty jilid I pada tahun 2016 dan tahun 2022 dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Tax amnesty jilid I, sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, ialah program pengampunan atas pajak terutang yang tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan dengan membayar uang tebusan. Hasilnya, negara mengumpulkan uang tebusan Rp130 triliun, data deklarasi sebesar Rp4.813,4 triliun, dan repatriasi sebesar Rp146 triliun.
Selanjutnya, pada tahun 2022 pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berlaku pada tanggal 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022, sesuai dengan amanah dari Undang-undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP). Program ini selanjutnya dikenal dengan tax amnesty jilid II dan mampu mengumpulkan dana dari setoran PPh untuk negara sebesar Rp61,01 triliun dan harta bersih yang diungkap sebesar Rp594,82 triliun.
"Tax amnesty jilid II memang tidak sesukses jilid I, di antaranya, karena pembatasan peserta dan juga tarif yang cenderung kurang menarik," pungkasnya.
Dengan segala poin-poin yang telah dijabarkan, Ajib menilai bahwa program tax amnesty bukanlah program yang ideal. Akan tetapi, program tersebut masih dibutuhkan oleh Indonesia.