Tekanan Terhadap Standar Integritas

Meskipun terdapat perbaikan, separuh responden (50%) mengakui bahwa mempertahankan standar integritas dalam kondisi pasar yang sulit merupakan tantangan bagi organisasi mereka. Hampir sepertiga (30%) mengatakan bahwa lingkungan ekonomi makro saat ini memberikan tekanan eksternal terbesar terhadap karyawan untuk melanggar standar integritas; dan lebih dari seperempat (28%) mengatakan ancaman internal terbesar datang dari karyawan yang tidak memahami peraturan yang mengatur perilaku.

Tekanan eksternal lainnya menurut responden mencakup ancaman dunia maya (26%), krisis terkait kesehatan (22%), ekspektasi kinerja keuangan (22%), gangguan rantai pasokan (21%) dan ancaman geopolitik (15%). Faktor internal yang disebutkan berkisar dari tingginya pergantian karyawan (26%) dan kurangnya sumber daya (25%) hingga tekanan dari manajemen (24%) dan kegagalan proses atau pengendalian finansial (20%).

Survei ini juga menunjukkan bahwa pihak ketiga terlibat dalam lebih dari dua pertiga (68%) pelanggaran kepatuhan yang signifikan dan penipuan besar-besaran.

Baca Juga: 4 Cara Efektif Menghadapi Politik Kantor Tanpa Terseret ke Dalamnya

Kesenjangan Komunikasi

Survei ini menyoroti kesenjangan yang signifikan dalam mengomunikasikan pentingnya bertindak dengan integritas. Lebih dari separuh anggota dewan direksi (56%) dan manajemen senior (53%) mengatakan bahwa mereka sering mendengar kepemimpinan menekankan pentingnya perilaku etis, tetapi jumlah ini turun menjadi hanya sepertiga (33%) untuk karyawan di tingkat yang lebih junior.

Standar integritas yang tinggi merupakan hal yang sangat penting bagi organisasi di tingkat global–salah satunya karena standar ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tingkat kepercayaan terhadap perusahaan. Namun, standar ini hanya dapat ditegakkan jika manajemen senior mematuhinya; memimpin berdasarkan contoh; dan mengomunikasikan kepentingannya secara efektif.

Berbagai Macam Standar Integritas

Survei ini juga menyoroti persepsi umum bahwa standar integritas di seluruh organisasi dapat bervariasi tergantung pada pangkatnya, dan karyawan senior sering kali diberikan keringanan hukuman yang lebih besar. Hampir sepertiga responden (31%) mengatakan bahwa perilaku tidak etis dapat ditoleransi jika yang terlibat adalah karyawan yang lebih senior.

Laporan ini juga menemukan bahwa anggota dewan direksi lebih besar kemungkinannya memiliki kekhawatiran mengenai potensi pelanggaran yang tidak mereka laporkan melalui saluran pelaporan pelanggaran (43% dibandingkan dengan 19% anggota karyawan junior).

Menciptakan Budaya Speak-Up yang Efektif

Survei tersebut menunjukkan bahwa organisasi perlu melakukan lebih banyak hal untuk menciptakan budaya speak-up yang aman bagi karyawan yang mengidentifikasi adanya kesalahan. Meskipun jumlah organisasi yang tidak memiliki hotline pelaporan pelanggaran telah berkurang setengah sejak tahun 2022, lebih dari separuh responden (54%) yang telah menggunakan hotline pelaporan pelanggaran mengatakan bahwa mereka menghadapi tekanan untuk tidak melakukan hal tersebut.

"Pemberlakuan undang-undang perlindungan pelapor; kemajuan teknologi komunikasi; dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya melaporkan pelanggaran berarti bahwa organisasi kini memiliki sarana yang lebih baik untuk mendukung karyawan yang perlu menyuarakan keprihatinan. Namun, perusahaan harus berusaha menciptakan budaya speak-up yang dapat diterapkan dalam praktik–bukan hanya dalam teori. Setiap individu harus dibuat merasa aman, dan mereka juga harus tahu bahwa kekhawatiran mereka akan ditindaklanjuti, tanpa konsekuensi apa pun," tegas Andrew Gordon, EY Global Forensic & Integrity Services Leader.