Siapa bilang feminisme harus selalu soal melawan patriarki secara terang-terangan? Terkadang, kekuatan feminisme justru hadir lewat cerita—kisah-kisah di mana perempuan hidup, bermimpi, gagal, bangkit, dan menciptakan dunia mereka sendiri, tanpa perlu izin atau validasi siapa pun.
Dalam kumpulan buku ini, para tokoh perempuan tak hanya jadi pemeran utama—mereka adalah pusat gravitasi. Sementara itu, para laki-laki? Terkadang hanya sekadar bayangan di latar belakang. Kadang-kadang bahkan tak ada sama sekali.
Dan dikutip dari Timesnownews, Selasa (6/5/2025), berikut 10 buku feminis penuh kekuatan, imajinasi, dan keteguhan yang akan membuatmu berpikir ulang tentang siapa yang sebenarnya menggerakkan dunia.
1. She Who Became the Sun karya Shelley Parker-Chan
Di sebuah desa yang dilanda kelaparan di Tiongkok abad ke-14, seorang gadis tanpa nama mencuri identitas saudara laki-lakinya yang sudah meninggal untuk mengklaim ramalan tentang kebesaran. Yang terjadi selanjutnya adalah kisah epik perang, kekuasaan, dan ambisi yang mengubah gender.
Parker-Chan menulis ulang pendirian Dinasti Ming dengan semangat feminis yang aneh, mengabaikan maskulinitas tradisional sepenuhnya. Tokoh protagonis tidak hanya mengklaim ruang—dia membentuk kembali takdir, dengan tokoh laki-laki yang tersingkir atau menjadi pion dalam permainan yang dikuasainya.
2. Reading Lolita in Tehran karya Azar Nafisi
Memoar ini, yang berlatar di Iran pascarevolusi, menyatukan klub buku rahasia yang terdiri dari para mahasiswi yang membaca literatur Barat terlarang. Melalui lensa Nabokov, Austen, dan Fitzgerald, Nafisi mengeksplorasi penindasan, ketahanan, dan tindakan membaca yang membebaskan.
Tokoh laki-laki, baik sastra maupun nyata, memudar ke pinggiran saat gravitasi emosional bergeser ke interpretasi, pilihan, dan pemberontakan diam-diam para wanita ini di ruang pribadi yang tetap menantang feminin.
3. The Courtesan, the Mahatma and the Italian Brahmin karya Manu S. Pillai
Lupakan para pahlawan pria yang sering jadi pusat sejarah. Buku ini menyorot tokoh-tokoh wanita tangguh dari masa lalu India—penguasa, diplomat, dan pemimpin yang penuh strategi. Sejarah tak pernah semenarik ini ketika perempuan yang memegang kendali.
Dengan memfokuskan kembali narasi mereka, buku ini menyoroti bagaimana sejarah India tidak secara otomatis didominasi lelaki, tetapi diingat secara selektif. Di sini, lelaki sering kali menjadi latar belakang yang mengganggu bagi agensi strategis, intelektual, dan budaya perempuan.
4. Salt and Saffron karya Kamila Shamsie
Aliya, seorang perempuan Pakistan-Amerika, kembali ke Karachi dan menghadapi sejarah keluarganya yang luas akan aristokrasi dan kerahasiaan. Melalui sudut pandangnya yang tajam dan tidak sopan, kita bertemu dengan generasi-generasi perempuan yang dibentuk oleh cinta, politik, dan kelas.
Meskipun ada tokoh-tokoh lelaki, mereka tidak mendefinisikan beban emosional dari cerita tersebut. Sebaliknya, para wanita membentuk narasi melalui memori, konflik, dan kekerabatan, membuat pria hampir tak terlihat dalam kisah yang berakar pada warisan wanita.
5. The Space Between Us karya Thrity Umrigar
Novel yang mengharukan ini menelusuri kehidupan dua wanita yang saling terkait di Mumbai: Sera, seorang janda kelas menengah, dan Bhima, pembantu rumah tangganya. Ikatan mereka, yang rumit karena kasta dan kelas, membentuk inti emosional novel tersebut.
Tokoh pria menyebabkan rasa sakit, tetapi mereka tidak pernah menjadi pusat cerita. Sebaliknya, kerja keras, cinta, dan ketahanan emosional wanitalah yang menyatukan semuanya—bukti bahwa hubungan antara wanita sering kali memiliki dampak yang lebih besar daripada hubungan dengan pria.
Baca Juga: Rekomendasi 10 Buku Inspiratif untuk Wanita Mengatasi Keraguan Diri
6. The Last Queen karya Chitra Banerjee Divakaruni
Rani Jindan Kaur, ratu terakhir Punjab yang gigih, menolak untuk menghilang begitu saja dalam sejarah. Divakaruni membangun potret yang indah tentang kebangkitan, pembangkangan, dan pengasingannya. Maharaja Ranjit Singh mungkin menjadi katalisator, tetapi Jindan-lah yang membentuk kembali struktur kekuasaan.
Ia memiliki kecerdasan, pesona, dan kecakapan politik, menjadikan pria di sekitarnya sebagai alat atau ancaman. Kisahnya adalah kisah feminis yang merayakan kedaulatan yang direbut kembali dari kendali patriarki.
7. Welcome Home karya Najwa Zebian
Kumpulan prosa dan puisi ini mengungkap batasan emosional, harga diri, dan penyembuhan dari trauma. Zebian menyapa pembaca dengan suara lembut dan meyakinkan, mengubah rasa sakit menjadi pemberdayaan.
Pria hanya muncul sebagai gema pengkhianatan atau kehilangan. Namun, sorotan tetap pada perjalanan pembicara untuk membangun rumah di dalam dirinya sendiri. Ini adalah peta jalan yang intim bagi mereka yang belajar menghargai kebersamaan mereka sendiri di atas segalanya.
8. Convenience Store Woman karya Sayaka Murata
Keiko Furukura telah bekerja di toko serba ada yang sama selama delapan belas tahun, puas dan tidak terganggu oleh norma-norma sosial. Murata menyusun kritik surealis dan tajam tentang konformitas melalui mata Keiko.
Sementara calon pasangan pria muncul sebentar dalam cerita, ia lebih berperan sebagai kritikus daripada karakter. Komitmen Keiko terhadap gaya hidup non-normatif membuatnya menjadi pahlawan feminis yang pendiam yang menantang ekspektasi hanya dengan menjadi dirinya sendiri.
9. My Brilliant Friend karya Elena Ferrante
Kisah Neapolitan karya Ferrante dimulai dengan persahabatan masa kecil yang intens antara Elena dan Lila di lingkungan kelas pekerja. Pria ada di pinggiran, sering kali menyebabkan kekacauan, tetapi tidak pernah memegang denyut nadi narasi.
Epik emosional adalah milik para perempuan—ambisi, kecemburuan, ketakutan, dan kesetiaan mereka. Ferrante menuliskan kehidupan batin mereka dengan kejelasan yang tak tertandingi, menciptakan dunia tempat hubungan perempuan lebih formatif dan langgeng daripada romansa atau persaingan dengan laki-laki.
10. Tears of the Begums karya Khwaja Hasan Nizami
Buku ini ditulis oleh seorang penulis laki-laki tetapi sepenuhnya berpusat pada suara perempuan kerajaan Mughal, kisah sejarah ini menangkap kejatuhan Delhi yang tragis pada tahun 1857. Kekaisaran laki-laki runtuh, dan yang tersisa adalah kisah tentang bertahan hidup dan kesedihan, yang diceritakan oleh perempuan dengan keterusterangan yang mengejutkan.
Para begum ini bukanlah saksi pasif—mereka menceritakan, mengingat, dan membangun kembali. Laki-laki, yang dulunya penguasa, kini lenyap, sementara perempuan membentuk ingatan kolektif tentang kehilangan dan ketahanan.
Baca Juga: 10 Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Buku 'The Greatness Mindset karya Lewis Howes