‘Bergerak cepat dan hancurkan segalanya’ mungkin resep yang manjur di dunia startup, di mana kecepatan sering kali lebih penting daripada kesempurnaan. Namun, apakah prinsip itu tetap berlaku ketika yang dipertaruhkan adalah organisasi besar dengan sistem kompleks dan jutaan orang yang bergantung padanya? Elon Musk tampaknya percaya demikian.

Gaya kepemimpinan khasnya yang disruptif, serba cepat, dan penuh kontroversi memang melahirkan terobosan di Tesla dan SpaceX.

Tetapi ketika dibawa ke ranah pemerintahan melalui Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE), pendekatan itu justru menimbulkan pertanyaan, apakah ini bentuk kepemimpinan transformasional, atau sekadar resep menuju kekacauan?

Dan, dikutip dari Forbes, Minggu (24/8/2025), berikut adalah sejumlah ‘kesalahan’ Musk dalam memimpin perubahan di DOGE, dan pelajaran berharga yang bisa kita petik darinya.

1. Keputusan Cepat Tanpa Visi atau Strategi

Untuk memimpin perubahan yang sukses, Anda membutuhkan visi yang jelas dan meyakinkan tentang apa yang Anda tuju dan mengapa hal itu penting.

Ketika Musk memulai masa jabatannya di DOGE dengan mengadvokasi penghapusan besar-besaran lembaga seperti USAID tanpa menyediakan rencana pengganti, apa yang ia lakukan? Kekacauan dan pembongkaran tanpa desain. Hasilnya bukan arah baru, melainkan kebingungan. Perubahan sejati butuh peta jalan, jelas kemana, mengapa, dan bagaimana. Tanpanya, ‘efisiensi” hanya jadi slogan kosong.

2. Perubahan Bukanlah Olahraga Tunggal

Ketika Musk menggambarkan penghapusan seluruh lembaga sebagai ‘mudah’ dan menyamakannya dengan gulma di kebun dalam pidatonya idi KTT Pemerintah Dunia, jelas bahwa ini adalah percakapan satu arah.

Pengambilan keputusannya yang top-down dan unilateral seringkali justru mengasingkan mereka yang dapat membantu menggerakkan perubahan, para pemimpin, pelaksana, dan advokat yang terdampak.

Perubahan nyata membutuhkan pembangunan koalisi. Pemimpin terbaik melibatkan para pemangku kepentingan dan bersama-sama menciptakan solusi.

3. Jangan Mengorbankan Diri untuk ‘Memangkas’

Di sinilah metode kepemimpinan Musk menghadapi turbulensi kritis. Pemangkasan massal birokrasi mungkin menghemat biaya jangka pendek, tapi meninggalkan kekosongan fungsi vital.

Pemimpin efektif tidak hanya memangkas, tetapi juga membangun sistem transisi agar organisasi tetap berjalan.

4. Hargai Budaya Organisasi, Jangan Merusaknya

Pelabelan Musk terhadap pegawai negeri sipil yang telah lama bekerja sebagai ‘birokrat yang tidak bertanggung jawab’ mengabaikan ikatan emosional yang terbentuk antara karyawan dengan pekerjaan dan sistem yang mereka jalani.

Perubahan yang efektif menuntut tidak hanya mendesain ulang proses tetapi juga membentuk kembali budaya. Ini bukan tentang mengabaikan sistem lama karena terasa ketinggalan zaman, ini tentang memahaminya, menghormatinya, dan menemukan cara untuk mengembangkannya.

5. Mendiagnosis Sebelum Menghancurkan

Asumsi Musk bahwa inefisiensi pemerintah secara inheren terkait dengan pemborosan dan status quo, alih-alih tantangan sistemik, menunjukkan titik buta yang signifikan.  Hal ini terbukti ketika ia baru-baru ini mengumumkan rencana untuk menutup USAID, menyebutnya sebagai ‘organisasi kriminal’ dan menyatakannya ‘tidak dapat diperbaiki’.

Menghapus lembaga tanpa memahami akar masalah hanya melahirkan resistensi. Pemimpin perubahan harus mendiagnosis dulu apa yang masih berfungsi, apa yang perlu diperbaiki.

Baca Juga: 5 Hal yang Tidak Akan Pernah Dimiliki Elon Musk, Meski Jadi Orang Terkaya di Dunia