Tantangan Penerapan B40
Meski penerapan biodiesel hingga saat ini banyak dinilai sukses baik dari sisi lingkungan maupun dari sisi penghematan devisa, namun terdapat sejumlah tantangan dalam program ini. Eniya menuturkan, salah satu tantangannya adalah terkait pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk melaksanakan mandatori ini.
Eniya bilang, problem itu tidak hanya pada ketersediaan CPO saja, namun juga kemampuan dana insentif biodiesel yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Meski begitu, dia mengklaim, penerapan B40 nantinya relatif aman dari sisi pasokan bahan baku. Dia memperkirakan sekitar 4 juta ton CPO masih sisa jika pemerintah memutuskan untuk mengadopsi program B40 dalam waktu dekat.
Kementerian ESDM sendiri memperkirakan stok minimal minyak kelapa sawit mentah untuk menopang program Biodiesel B40 sekitar 17,57 juta kiloliter. Hitung-hitungan itu berasal dari asumsi kebutuhan solar tahun 2024 sebesar 38,04 juta kiloliter.
Sementara, dengan asumsi pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto (PDB) sebesar 5%. Maka penyaluran B40 diperlukan stok CPO domestik sekitar 17,57 juta kiloliter atau sekitar 15,29 juta ton CPO.
Nah, rupanya kekhawatiran soal pasokan CPO ini diakui Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono. Menurutnya, dengan mandatori B40 kemungkinan ekspor CPO sudah mulai berkurang.
“Kebutuhan untuk B35 sekitar 12 juta ton CPO, kemudian kebutuhan untuk B40 sekitar 14 juta ton CPO dan kebutuhan pangan saat ini sekitar 10,2 juta ton,” ungkap Eddy.
Eddy bilang, jika dinaikkan menjadi B40 maka kebutuhan dalam negeri untuk pangan dan energi akan berada di angka 24 juta ton. Sedangkan, ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh produk refine palm oil. Artinya, dari sisi ekspor jika mengikuti mandatori dinaikkan menjadi B40, maka akan berada di angka 30-an juta ton.
Eddy juga mengaku, pihaknya telah mewanti-wanti bahwa ekspor sawit di tahun ini berpotensi stagnan, meski naik diperkirakan hanya 5% dari 2023. Ini terjadi karena adanya peningkatan konsumsi domestik. Produksi yang diperkirakan sedikit lebih tinggi pada 2023 dibandingkan tahun 2022 pun menurutnya adalah sebagai imbas dari pulihnya hasil produksi sawit dan tanaman yang baru dipanen.
Kesiapan Industri Menuju Mandatori B40
Head of Sustainability Division Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Rapolo Hutabarat, menyatakan kesiapannya apabila pemerintah menerapkan program mandatori B40 ini.
Rapolo meyakini, penerapan BBN jenis B40 sejalan atau selaras dengan misi negara dalam menurunkan emisi karbon, menuju target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Di sisi lain, penerapan B40 akan meningkatkan kesejahteraan petani karena harga tandan buah segar (TBS) diyakini akan naik.
Senada dengan APROBI, kalangan industri kendaraan pun mengungkapkan kesiapannya menyambut penerapan B40 ini. Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Yohannes Nangoi, juga mengatakan, pihaknya sudah siap apabila B40 diberlakukan.
“Soal rencana penerapan B40 tentu kita akan bekerja sama dengan pemerintah. Kita ini diberi kesempatan untuk melakukan tesnya terlebih dahulu supaya kendaraan kita adjust dengan euro 4 B40,” ujar Yohannes.
Menurutnya, rencana pemberlakuan B40 sendiri merupakan strategi jitu pemerintah menghemat devisa dan mendapatkan energi yang ramah lingkungan. Apalagi, lanjut dia, pemberlakuan B35 yang sudah berjalan sejak tahun lalu terbilang sukses.
Baca Juga: BPDPKS Ajak Gen Z Kenal Kelapa Sawit Secara Objektif