Sawit merupakan salah satu komoditas penghasil devisa tertinggi di Indonesia. Pemanfaatan sawit kini mulai digaungkan ke sektor energi, termasuk biodiesel.
Penerapan bahan bakar biodiesel merupakan mandatori yang ditetapkan pemerintah sejak 2008 dengan campuran minyak kelapa sawit 2,5%. Lalu, kadarnya ditingkatkan menjadi 7,5% pada 2008 hingga 2010.
Mulai April 2015, kadar ditambah jadi 10% dan 15%, dan pada Januari 2016 dinaikkan lagi sehingga 20% dan disebut B20. Pada 2020, pemerintah menetapkan B30 lalu naik lagi menjadi B35 mulai 1 Februari 2023 dan terus berkembang hingga kini dilakukan uji coba B40.
B40 merupakan campuran minyak sawit ke bahan bakar diesel menjadi lebih banyak. Sebelumnya atau B30, campuran minyak sawit hanya 30 persen, sedangkan diesel sebanyak 70 persen. Sementara, B40 campuran minyak sawit dibuat menjadi 40 persen dengan kadar solar 60 persen.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri telah melakukan uji terap B40 pada sektor otomotif. Sementara itu, untuk sektor non otomotif seperti kapal, alat pertanian, tambang hingga kereta api masih dalam tahap uji jalan sampai Desember 2024 nanti.
Lantas, sejauh mana kesiapan penerapan mandatori B40 ini? Berikut ulasannya.
Uji Coba B40
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan bahwa uji coba penggunaan B40 telah dilakukan di sektor otomotif.
Proses pengujian bahan bakar B40 tersebut telah melalui beberapa tahap pengujian antara lain uji karakteristik bahan bakar, uji mutu minyak pelumas, uji stabilitas penyimpanan, uji kinerja kendaraan, uji konsumsi bahan bakar, uji merit rating komponen, uji kompatibilitas material, hingga uji emisi opasitas gas buang.
Dan, dari hasil uji B40 pada kendaraan bermotor itu secara umum tidak ada kendala yang signifikan. Daya maksimum kendaraan tidak mengalami perubahan saat menggunakan B40. Selain itu, pemakaian B40 tidak berdampak signifikan pada perubahan massa, volume, dimensi, atau material karet dalam kendaraan. Hal ini menunjukkan bahwa B40 memiliki performa yang setara dengan campuran B30 dan D10.
Tahun ini, kata Eniya, penggunaan B40 sedang diuji coba di sektor non-otomotif. Dalam sektor-sektor ini, komposisi B40 terdiri dari 40 persen biodiesel, 35 persen BBN lainnya, dan sisanya merupakan campuran B30 dengan D10. Hasil uji coba diharapkan dapat segera diketahui dan diimplementasikan secara luas.
Dalam uji coba pada alat berat Kementerian ESDM berencana akan menggaet Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk urusan pendanaan serta mengajak pihak perusahaan penyedia alat berat yang produknya ingin di uji coba menggunakan bahan bakar B40.
Baca Juga: Program Mandatori Biodiesel Untungkan Masyarakat Indonesia
Keuntungan Penerapan Biodiesel
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menegaskan, kesiapan implementasi B40 sudah pada tahap uji coba, aspek teknis, pemenuhan pasokan dan termasuk pendanaan. Dengan demikian, pemerintah optimis komersialisasi BBM solar dengan campuran B40 bisa dimulai pada awal tahun 2025.
“Kita udah siap, uji coba udah siap, teknis siap, pasokan juga siap, pendanaan siap. tinggal launching aja,” ujar Arifin Tasrif, baru-baru ini.
Adapun, target penerapan B40 bakal meningkatkan peran strategis Indonesia sebagai salah satu penyumbang bahan bakar nabati atau biofuel terbesar di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Implementasi B40 ini tidak hanya bertujuan untuk mendukung ketahanan energi, tetapi juga berpotensi mengurangi emisi hingga 40%. Selain itu, Kementerian ESDM juga berupaya mengurangi emisi dari kendaraan yang menggunakan BBM dengan kandungan sulfur tinggi.
Selama tahun 2021, penggunaan B30 atau Biodiesel 30% telah memberikan kontribusi yang besar bagi RI. Kontribusi yang paling terasa adalah dari segi lingkungan. Program ini menurunkan emisi gas karbon (CO2) mencapai 24,7 juta ton.
Di sisi lain, baik BBM maupun biodiesel keduanya sama-sama tetap mengeluarkan emisi gas. Yang menjadi perbedaan ialah secara hulunya, yaitu terbuat dari minyak nabati dari sawit sehingga bisa diserap kembali oleh pohon tersebut. Di sisi inilah keunggulan biodiesel terlihat.
Mandatori biodiesel juga telah memberi efek ekonomi yang besar bagi Indonesia pada 2023. Menurut Arifin Tasrif, terjadi penghematan devisa negara mencapai 7,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 120,54 triliun.
"Devisa kita bisa hemat, karena kita bisa mengurangi importasi solar, termasuk crude, karena kita bisa campur dengan kita punya fame," ungkap Arifin Tasrif.
Arifin Tasrif juga bilang, efek ekonomi lain dari program mandatori biodiesel adalah terjadi peningkatan nilai tambah dari CPO menjadi biodiesel sebesar Rp 15,82 triliun. Selain itu, terjadi penyerapan tenaga kerja yang sangat besar, yaitu lebih dari 11.000 partisipasi tenaga kerja off-farm, dan juga mencapai 1,5 juta pekerja on-farm.
Baca Juga: Edukasi Masyarakat tentang Manfaat Minyak Sawit, Olenka Bersama BPDPKS Gelar Acara Sawit on Town
Tantangan Penerapan B40
Meski penerapan biodiesel hingga saat ini banyak dinilai sukses baik dari sisi lingkungan maupun dari sisi penghematan devisa, namun terdapat sejumlah tantangan dalam program ini. Eniya menuturkan, salah satu tantangannya adalah terkait pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk melaksanakan mandatori ini.
Eniya bilang, problem itu tidak hanya pada ketersediaan CPO saja, namun juga kemampuan dana insentif biodiesel yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Meski begitu, dia mengklaim, penerapan B40 nantinya relatif aman dari sisi pasokan bahan baku. Dia memperkirakan sekitar 4 juta ton CPO masih sisa jika pemerintah memutuskan untuk mengadopsi program B40 dalam waktu dekat.
Kementerian ESDM sendiri memperkirakan stok minimal minyak kelapa sawit mentah untuk menopang program Biodiesel B40 sekitar 17,57 juta kiloliter. Hitung-hitungan itu berasal dari asumsi kebutuhan solar tahun 2024 sebesar 38,04 juta kiloliter.
Sementara, dengan asumsi pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto (PDB) sebesar 5%. Maka penyaluran B40 diperlukan stok CPO domestik sekitar 17,57 juta kiloliter atau sekitar 15,29 juta ton CPO.
Nah, rupanya kekhawatiran soal pasokan CPO ini diakui Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono. Menurutnya, dengan mandatori B40 kemungkinan ekspor CPO sudah mulai berkurang.
“Kebutuhan untuk B35 sekitar 12 juta ton CPO, kemudian kebutuhan untuk B40 sekitar 14 juta ton CPO dan kebutuhan pangan saat ini sekitar 10,2 juta ton,” ungkap Eddy.
Eddy bilang, jika dinaikkan menjadi B40 maka kebutuhan dalam negeri untuk pangan dan energi akan berada di angka 24 juta ton. Sedangkan, ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh produk refine palm oil. Artinya, dari sisi ekspor jika mengikuti mandatori dinaikkan menjadi B40, maka akan berada di angka 30-an juta ton.
Eddy juga mengaku, pihaknya telah mewanti-wanti bahwa ekspor sawit di tahun ini berpotensi stagnan, meski naik diperkirakan hanya 5% dari 2023. Ini terjadi karena adanya peningkatan konsumsi domestik. Produksi yang diperkirakan sedikit lebih tinggi pada 2023 dibandingkan tahun 2022 pun menurutnya adalah sebagai imbas dari pulihnya hasil produksi sawit dan tanaman yang baru dipanen.
Kesiapan Industri Menuju Mandatori B40
Head of Sustainability Division Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Rapolo Hutabarat, menyatakan kesiapannya apabila pemerintah menerapkan program mandatori B40 ini.
Rapolo meyakini, penerapan BBN jenis B40 sejalan atau selaras dengan misi negara dalam menurunkan emisi karbon, menuju target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Di sisi lain, penerapan B40 akan meningkatkan kesejahteraan petani karena harga tandan buah segar (TBS) diyakini akan naik.
Senada dengan APROBI, kalangan industri kendaraan pun mengungkapkan kesiapannya menyambut penerapan B40 ini. Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Yohannes Nangoi, juga mengatakan, pihaknya sudah siap apabila B40 diberlakukan.
“Soal rencana penerapan B40 tentu kita akan bekerja sama dengan pemerintah. Kita ini diberi kesempatan untuk melakukan tesnya terlebih dahulu supaya kendaraan kita adjust dengan euro 4 B40,” ujar Yohannes.
Menurutnya, rencana pemberlakuan B40 sendiri merupakan strategi jitu pemerintah menghemat devisa dan mendapatkan energi yang ramah lingkungan. Apalagi, lanjut dia, pemberlakuan B35 yang sudah berjalan sejak tahun lalu terbilang sukses.
Baca Juga: BPDPKS Ajak Gen Z Kenal Kelapa Sawit Secara Objektif