Kemudian, Makonnen & Hoekstra (2010) juga melakukan studi perbandingan kebutuhan air produk pertanian dengan menggunakan konsep “water footprint”. Konsep ini dapat diartikan sebagai jumlah total air (air tawar) yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk pertanian.

Dari hasil penelitian tersebut, tanaman sawit membutuhkan air paling sedikit diantara tanaman minyak nabati lainnya. Sawit juga relatif sustainable dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya karena sebagian besar air yang digunakan bersumber dari air hujan.

Jika mengacu pada penelitian-penelitian di atas, maka anggapan bahwa kelapa sawit boros air adalah salah kaprah.Kelapa sawit juga terbukti sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan juga tergolong tanaman yang paling hemat air untuk menghasilkan energi dibandingkan feedstock lainnya.

Dimana, kebutuhan air pada kelapa sawit hanya sebesar 75 m3 air untuk menghasilkan satu Giga Joule (GJ) bioenergy. Untuk menghasilkan 1 liter biodiesel, kebutuhan air yang digunakan oleh kelapa sawit hanya sebesar 5,166 liter air atau lebih rendah dibandingkan kebutuhan air kelapa, rapeseed, dan kedelai.

Selain efisiensi, kelapa sawit juga memberikan kontribusi positif dalam melestarikan tanah dan air. Pertama, kelapa sawit memiliki struktur pelepah yang berlapis serta mampu menaungi lahan (canopy cover) mendekati 100 persen pada usia dewasa sehingga dapat melindungi tanah dari pukulan langsung air hujan dan meminimalisir erosi akibat water run-off.

Kedua, kelapa sawit memiliki sistem perakaran serabut yang masif, luas, dan dalam atau membentuk sistem biopori alamiah yang memiliki kemampuan untuk menahan air (water holding capacity) melalui peningkatan infiltrasi air hujan ke dalam tanah sehingga mencegah water run-off dan menyimpan cadangan air di dalam tanah.

Baca Juga: Kontribusi Industri Sawit dalam Pencapaian SDGs Lingkungan dan Kemitraan Global