Ciputra menjadi sosok legendaris dalam industri properti tanah Air. Tepat pada 27 November 2019, Ciputra atau yang karib dikenal dengan nama Pak Ci menghembuskan nafas terakhirnya di Singapura genap pada usia 88 tahun, pukul 01.05 waktu setempat.

Dalam industri properti tanah air, Pak Ci dikenal sebagai maestro properti yang inspiratif dan bersahaja. Taipan asal Parigi, Sulawesi Selatan itu turut andil berperan penting dalam perkembangan properti di Tanah Air.

Banyak karya monumental yang berhasil diciptakan oleh Chairman dan Founder Ciputra Group itu. Bahkan, masih bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Tanah Air hingga saat ini. Sebut saja seperti Taman Impian Jaya Ancol, yang menjadi salah satu tempat rekreasi terbesar di Jakarta.

Selain sukses sebagai pengusaha dengan kerajaan bisnis propertinya, Pak Ci juga dikenal sebagai filantropis yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu fokus utama. Di bidang sosial, Ciputra sempat terlibat aktif di lebih dari 10 yayasan pendidikan, olahraga, seni, dan budaya.

Berikut ini Olenka rangkum dari berbagai sumber, Kamis (23/1/2025), sejumlah informasi terkait kisah perjalanan inspiratif mendiang Ciputra sebagai Maestro Properti di Tanah Air.

Baca Juga: ⁠Mengenal Sosok Benny Suherman dan Perjalanan Karier Jadi Raja Bioskop di Indonesia

Lahir dari Keluarga Sederhana

Meski berhasil menjadi pendiri Ciputra Group, Pak Ci lahir dari keluarga yang begitu sederhana, bahkan bisa dibilang kurang mampu. Sejak belia, Pak Ci sudah merasakan kepahitan hidup, apalagi setelah ditinggal sang ayah.

Ketika Ciputra berusia 12 tahun, sang ayah, Tjie Siem Poe, ditangkap oleh tentara Jepang karena diduga sebagai mata-mata Belanda. Tak lama setelah penangkapan, Tjie Siem Poe dikabarkan meninggal dunia.

Ditinggal sang ayah, membuat Pak Ci ikut turun tangan membantu ibunya mengais rupiah dengan berjualan. Pak Ci kecil sempat berjualan kopi yang diolahnya sendiri, hingga aneka kue untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Kemelaratan hidup yang dirasakan oleh Pak Ci, tak membuatnya menyerah dan menerima keadaan begitu saja. Kondisinya tersebut, justru membuatnya bertekad dan memiliki cita-cita menimba ilmu di Pulau Jawa demi masa depan yang lebih baik.

Ciputra sempat tertunda selama empat tahun untuk melanjutkan pendidikan akibat kesulitan biaya dan situasi peperangan pada masa itu. Akhirnya, ia baru dapat kembali bersekolah pada usia 12 tahun di kelas 3 SD, dan menyelesaikan pendidikan tingkat dasar pada usia 16 tahun. 

Setelah itu, Ciputra tinggal bersama nenek dan kakeknya, lalu melanjutkan pendidikan di tingkat SMP dan SMA di Frater Don Bosco, Kota Manado.