Nama Oei Tiong Ham melambung sebagai sosok legendaris, yakni seorang pionir dunia bisnis yang kerap dijuluki crazy rich pertama di Tanah Air bakhan di Asia Tenggara.

Dikenal dengan julukan “Raja Gula”, Oei adalah pendiri Oei Tiong Ham Concern (OTHC), yang berkembang pesat menjadi perusahaan besar di Asia.

Namun, di balik kekayaannya yang luar biasa, ada kisah menarik tentang keputusan Oei Tiong Ham untuk meninggalkan Indonesia dan memilih Singapura sebagai tempat tinggal.

Keputusan Oei untuk berpindah ke Singapura mencerminkan strategi bisnisnya yang tajam serta langkah untuk menjaga dan melindungi aset kekayaannya.

Lantas, seperti apa sosok Oei Tiong Ham selengkapnya? Dan, bagaimana perjalanan jatuh bangun bisnisnya di Indonesia hingga akhirnya memutuskan ‘kabur’ ke Singapura? Dikutip dari berbagai sumber, Selasa (29/4/2025), berikut Olenka rangkum kisahnya.

Latar Belakang Keluarga

Oei Tiong Ham lahir pada 19 November 1866 di Semarang, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dari keluarga Tionghoa-Peranakan. Ayahnya, Oei Tjie Sien, adalah imigran asal Fujian, Tiongkok, yang datang ke Nusantara untuk mencari peruntungan.

Lewat kerja keras, sang ayah mendirikan perusahaan dagang kecil bernama Kian Gwan — cikal bakal kerajaan bisnis yang nantinya akan dibesarkan luar biasa oleh Tiong Ham.

Meski lahir sebagai anak dari istri kedua, Tiong Ham ternyata mewarisi kecerdasan bisnis dan ambisi besar ayahnya. Ia mengenyam pendidikan Barat — sesuatu yang langka untuk keturunan Tionghoa pada zaman itu — dan menggabungkan gaya berpikir Timur dan Barat dalam usahanya.

Rekam Jejak Berbisnis

Ketika Tiong Ham mengambil alih Kian Gwan pada usia sangat muda, dia tak sekadar meneruskan bisnis ayahnya, namun ia mengembangkannya secara agresif. Fokus utamanya? Gula.

Ia membeli dan mengelola puluhan pabrik gula di Jawa, lalu mengendalikan rantai pasoknya dari hulu ke hilir, dari perkebunan, pabrik, hingga ekspor ke luar negeri. Berkat kecerdasannya dalam negosiasi dan kepekaan membaca pasar, ia segera menguasai perdagangan gula di Asia Tenggara.

Namun, Oei Tiong Ham tak puas hanya dengan bisnis gula. Ia melebarkan sayap ke berbagai bidang, mulai dari perdagangan hasil bumi (kopra, kopi, karet), properti, pelayaran, hingga opium — yang pada masa itu, ironisnya, merupakan komoditas legal di bawah pengawasan pemerintah kolonial.

Dikutip dari Tempo, bisnis Oei Tiong Ham benar-benar melejit setelah ia melakukan langkah brilian, yakni mengakuisisi lima pabrik gula yang nyaris gulung tikar.

Kelima pabrik itu adalah Pabrik Gula Pakis di Pati, Rejoagung di Madiun, Ponen di Jombang, Tanggulangin di Sidoarjo, dan Krebet di Malang. Alih-alih tenggelam, pabrik-pabrik itu justru berubah menjadi tambang emas di tangan Oei Tiong Ham.

Tentu, kesuksesan luar biasa ini tidak lepas dari fondasi kuat yang dibangun oleh ayahnya, Oei Tjie Sien. Sang ayah adalah pendiri Kian Gwan, sebuah kongsi dagang multinasional yang menjadi pijakan awal bagi langkah besar Tiong Ham di dunia bisnis.

Melanjutkan warisan tersebut, Oei Tiong Ham membentuk perusahaan baru bernama Oei Tiong Ham Concern (OTHC). Resmi mengambil alih bisnis keluarga pada 1890, ia tak hanya mempertahankan kejayaan, tapi juga memperluasnya ke sektor-sektor yang bahkan belum dijamah banyak orang pada masa itu.

OTHC berkembang pesat, mencakup berbagai lini bisnis strategis seperti perdagangan karet, kapuk, gambir, tapioka, dan kopi. Tak hanya itu, Oei Tiong Ham juga merambah layanan pegadaian, jasa pos, penebangan kayu, bahkan menjadi pemain utama dalam perdagangan opium — sebuah bisnis legal di era kolonial yang kala itu sangat menggiurkan di Asia Tenggara.

Oei Tiong Ham berhasil mengembangkan perusahaannya yang berpusat di Semarang hingga melanglang buana ke berbagai negara-negara di dunia, seperti Hongkong, London, hingga New York. Kesuksesannya pun membuat Belanda, yang kala itu menjajah Nusantara, turut segan dengannya.

Hingga kini, jejak kejayaan Oei Tiong Ham Concern masih bisa kita saksikan di Kota Lama Semarang. Tiga bangunan eks-kantor OTHC berdiri kokoh: di Jalan Kepodang No. 25, di sudut pertemuan Jalan Kepodang dan Jalan Suari, serta di Jalan Kepodang No. 11–13.

Bangunan-bangunan ini menjadi saksi bisu betapa besar pengaruh Oei Tiong Ham dalam membentuk sejarah ekonomi Nusantara.

Kekayaan

Pada puncak kejayaannya, kekayaan Oei Tiong Ham diperkirakan mencapai 200 juta gulden, jumlah yang setara dengan miliaran dolar hari ini. Ia menjadi orang Asia pertama yang masuk dalam daftar orang terkaya di kawasan Asia Tenggara, bahkan dijuluki "The Rockefeller of the East."

Dikutip dari Inilah.com, Oei Tiong Ham bukan hanya kaya, tapi juga flamboyan. Ia dikenal suka mengoleksi properti mewah, berkendara dengan mobil-mobil terbaik di zamannya, dan tinggal di rumah-rumah bergaya Eropa di Singapura.

Bahkan di Beijing, Tiong Ham memiliki bekas istana dari abad ke-17 dengan ratusan kamar. Sedangkan di Semarang, ia juga memiliki istana yang luasnya mencapai 81 hektar yang membentang sepanjang Jalan Pahlawan hingga Pandanaran dan Randusari.

Untuk mengurus rumah, Oei Tiong Ham memperkejakan 40 asisten rumah tangga, 50 orang tukang kebun, serta dua koki khusus yang didatangkan langsung dari China dan Eropa.

Baca Juga: Mengenal Sosok Sukanto Tanoto: Pengusaha Besar di Balik Royal Golden Eagle International

Memutuskan Pindah ke Singapura

Meski terkesan selalu menang, perjalanan bisnis Oei Tiong Ham tentu tak selalu mulus. Ia sempat menghadapi tekanan dari para konglomerat Belanda, pajak kolonial yang mencekik, hingga sentimen anti-Tionghoa yang merebak.

Salah satu drama besar dalam hidupnya terjadi ketika ia memutuskan untuk memindahkan markas bisnisnya dari Semarang ke Singapura pada tahun 1920-an. Alasannya? Perseteruan sengit dengan pemerintah kolonial, terutama terkait aturan pajak ganda yang dianggap memberatkan, serta Undang-Undang Waris yang tidak sesuai dengan prinsip pribadinya.

Kala itu, pemerintahan Indonesia menetapkan aturan waris dimana mewajibkan harta dibagikan rata ke semua anak. Padahal, Oei Tiong Ham ingin membagi aset bisnisnya hanya kepada anak-anak yang dianggap benar-benar mampu melanjutkan kerajaan bisnisnya. Pilihan ini tentu tidak mudah, mengingat ia memiliki 26 anak dari 8 istri.

Dikutip dari CNBC Indonesia, keputusannya ini juga didorong karena di Indonesia ia harus membayar pajak hingga 35 juta gulden, sedangkan di Singapura hanya 1 juta gulden. Langkah ini sempat membuatnya dicibir dan dicap tidak nasionalis, tapi bagi Tiong Ham, bisnis adalah tentang bertahan hidup dan berkembang.

Di Singapura, ia melanjutkan kiprah bisnisnya dan memperkuat posisinya sebagai salah satu orang terkaya dan paling berpengaruh di Asia. Di negara tersebut, Oei Tiong Ham benar-benar bebas. Dia tinggal bersama istri ketujuh dan anak-anaknya, serta membeli banyak tanah dan properti, bahkan lebih luas dari seperempat wilayah Singapura.

Ia juga berinvestasi dalam bisnis, seperti membeli perusahaan pelayaran dan menjadi pemilik saham di bank yang sekarang dikenal sebagai OCBC. Pembelian asetnya tercatat atas namanya pribadi, dan hanya orang kaya seperti Oei Tiong Ham yang bisa membeli tanah di sana.

Meskipun hidup di Singapura, Oei tidak memiliki kewarganegaraan. Dia melepaskan status Warga Negara Hindia Belanda dan tidak terdaftar sebagai Warga Negara Inggris. Oei tinggal di sana selama tiga tahun hingga meninggal pada 6 Juli 1924.

Kematian Oei Tiong Ham

Dikutip dari Liputan6.com, Oei Tiong Ham meninggal pada tanggal 6 Juli 1924 di Singapura. Ia menghembuskan napas terakhirnya pada usia 58 tahun, setelah menjalani hidup yang penuh dengan perjalanan bisnis yang luar biasa.

Penyebab kematiannya masih menjadi spekulasi, dengan beberapa sumber menyebutkan kemungkinan bahwa ia meninggal karena keracunan. Namun, hingga saat ini, penyebab pasti kematiannya masih menjadi misteri.

Baca Juga: Mengenang Sosok William Soeryadjaya, Tokoh di Balik Berdirinya Astra

Aset Disita Negara

Setelah kematiannya, harta kekayaan Oei Tiong Ham yang sangat besar menjadi objek perebutan. Pemerintah Indonesia pun menyita sebagian besar aset dan perusahaan milik Oei Tiong Ham, termasuk OTHC dengan alasan nasionalisasi dan aturan waris yang berlaku pada saat itu.

Salah satu alasan utama penyitaan aset adalah adanya ketidaksetujuan antara Oei Tiong Ham dan pemerintah kolonial mengenai aturan waris.

Oei Tiong Ham memiliki banyak anak dari berbagai istri, namun ia berencana untuk mewariskan kekayaannya hanya kepada anak-anak yang dianggap paling mampu menjalankan bisnisnya. Hal ini bertentangan dengan hukum waris kolonial yang mengharuskan pembagian harta secara merata kepada semua anak.

Selain itu, kekayaan besar Oei Tiong Ham, yang meliputi bisnis gula, properti, serta perdagangan opium, turut menarik perhatian pemerintah Belanda yang berusaha mengendalikan dan mengawasi kekayaan para pengusaha besar.

Dikutip dari Espos.id, dalam wawancara tahun 1989, Oei Tjong Ie, anak sulung Oei Tiong Ham dari istri ketujuhnya, Lucy Ho, mengungkapkan kejutan besar yang menimpa keluarganya setelah penyitaan aset bisnis keluarga yang legendaris. Keturunan Oei Tiong Ham sadar ada masalah dengan harta warisan, tapi tak menyangka proses penyitaan akan secepat itu terjadi.

Menurut Oei Tjong Ie, penyitaan itu terasa ilegal dan datang terlalu cepat. Meski ada spekulasi bahwa tindakan itu terkait dengan kemarahan Presiden Soekarno terhadap pengelola bisnis keluarga, ia membantahnya. Menurutnya, masalah utama adalah hubungan buruk antara keluarga dan kalangan atas di perusahaan Kian Gwan.

Begitu keputusan penyitaan diumumkan, keluarga Oei Tiong Ham langsung mengadakan rapat di Amsterdam, menyadari bahwa ini akan membawa masalah besar bagi bisnis mereka di luar negeri. Banyak perusahaan yang kehilangan pasokan bahan baku, memaksa mereka mencari peluang bisnis baru di tempat tinggal masing-masing.

Penyitaan ini pun menandai akhir dari kerajaan bisnis Oei Tiong Ham yang dulu pernah mendominasi Asia.

Diabadikan Jadi Nama Jalan di Singapura

Di Singapura, pengaruh dan kontribusi Oei Tiong Ham terhadap ekonomi lokal begitu besar, hingga setelah kepergiannya, namanya tetap dikenang.

Sebagai bentuk penghormatan, sebuah jalan di kawasan Bukit Timah, salah satu daerah paling prestisius di Singapura pun dinamai Oei Tiong Ham Park.

Area ini bukan sekadar jalan biasa, di sekitarnya berdiri rumah-rumah mewah dan properti kelas atas, mencerminkan kemakmuran yang pernah diraih oleh sosok yang namanya diabadikan di sana.

Tak hanya itu, dikutip dari CNBC Indonesia, sebagai bentuk penghargaan atas kontribusinya yang besar untuk Singapura, nama Oei Tiong Ham juga diabadikan di Raffles College dan Universitas Nasional Singapura (NUS), di mana salah satu jalan dan bangunan di kampus tersebut diberi nama sesuai dengan namanya.

Sementara itu di Semarang, nama Oei Tiong Ham juga sempat diabadikan menjadi nama salah satu jalan besar di Semarang yaitu Oei Tiong Ham Weg. Namun, saat ini jalan tersebut berubah menjadi Jalan Pahlawan.

Nah Growthmates, kisah Oei Tiong Ham yang akhirnya dijadikan nama jalan ini membuktikan bahwa warisan sejati bukan hanya soal kekayaan materi, tapi juga tentang jejak yang abadi dalam sejarah dan inspirasi bagi generasi mendatang.

Baca Juga: Mengulik Kisah Sukses Djarum Group Milik Hartono Bersaudara Orang Terkaya di Indonesia