Kamu pasti sudah tidak asing dengan rokok Djarum Super. Ya, rokok kretek tersebut merupakan produk yang dikeluarkan oleh PT Djarum atau Djarum Group. Pemiliknya tak lain adalah kakak beradik, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono.
Keluarga keturunan Tionghoa yang lahir di Jawa ini merupakan pemilik PT Djarum atau Djarum Group, sebuah konglomerasi yang menggarap banyak sekali lini usaha di Indonesia.
Kehebatan dua Hartono bersaudara dalam mengelola Djarum Group ini bahkan mampu membuat keduanya bisa menguasai lebih dari setengah saham Bank BCA, yang artinya mereka adalah pengendali bank swasta terbesar itu. Namun, untuk mencapai kesuksesan seperti sekarang tentu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Terlebih, keduanya mengelola perusahaan Djarum saat usia mereka masih sangat muda, yaitu di usia 24 tahun, setelah kepergian sang ayah pada tahun 1963 pasca musibah kebakaran hebat yang menghanguskan pabrik rokok Djarumnya.
Kini, Hartono bersaudara dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Mengutip Indonesia 50's Richest versi Forbes, kekayaan keduanya masih menempati nomor satu di Tanah Air.
Dalam Forbes Real Time Billionaires per Rabu (31/1/2024), Robert Budi Hartono tercatat di urutan ketiga orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan US$25,6 miliar atau setara dengan Rp403,84 triliun (Rp15.775/US$1). Dan di urutan keempat diisi oleh Michael Bambang Hartono dengan total kekayaan US$24,5 miliar atau setara dengan Rp386,48 triliun.
Lantas, bagaimana seluk beluk perjalanan bisnis Djarum Group yang dikomandoi duo Hartono ini? Berikut Olenka rangkum informasinya dari berbagai sumber. Yuk, simak!
Baca Juga: Mengenal Sosok Armand Wahyudi Hartono, Generasi Ketiga Pemilik Grup Djarum
Sejarah Awal Djarum Group
Sejarah merek rokok Djarum yang terkenal itu ternyata berawal bukan dari bisnis tembakau. Produk yang mengangkat pemiliknya sebagai orang terkaya di Indonesia punya sejarah yang panjang.
Armand Hartono, salah satu ahli waris Djarum Group yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur BCA, mengisahkan bagaimana sebuah bisnis besar seperti Djarum dirintis dari nol.
Armand mengatakan, bisnis dimulai dari kakeknya Oei Wie Gwan yang mulai berdagang mercon hingga mempunyai pabrik. Namun, pada 1939, pabrik yang dirintis meledak dan kakeknya bangkrut. Setelah dibangun kembali dari nol, pada 1941, pabrik didatangi perampok yang membawa obor sehingga membuat pabrik meledak lagi.
“Sudah berkembang, tahun 1939 pabrik tersebut lantas terbakar habis. Tahun 1941 sudah bangun lagi pabriknya, tapi dirampok orang, yang ngerampok bawanya obor karena gelap. Bawa obor ke pabrik petasan, ya meledak lah,” tutur Armand.
Ketika keluarga membangun kembali, kata Armand, pabrik mercon terpaksa tutup karena pada tahun 1942 kedatangan Jepang yang menjajah Indonesia. Setelah masa kemerdekaan, kakeknya kembali membangun bisnis kembali. Barulah pada 1951, Oei Wie Gwan membeli perusahaan rokok NV Murup yang hampir gulung tikar di Kudus, Jawa Tengah. Perusahaan tersebut memiliki merek Djarum Gramofon yang kemudian dikenal dengan nama Djarum.
“Jadi awalnya waktu itu ada perusahaan yang dijual, kakek saya beli tuh izinnya buat bikin rokok, dia bikin tuh rokok kretek, Eh gak laku, kenapa? Karena dia biasanya bikin petasan, jadi ini rokok rasanya rasa petasan, gak laku lah gak enak. Dia gagal lagi, coba-coba lagi hingga akhirnya dijual ke penjara, ke sipir-sipir yang suka merokok ‘asbul ngebul’. Ke tentara rakyat juga,” papar Armand.
Lalu, kata Armand, pada 1963, perusahaan rokok pun mengalami kebakaran besar dan hampir menghancurkan pabrik. Di tahun yang sama, Oei Wie Gwan tutup usia dan mewariskan bisnis tersebut ke putranya, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono.
“Jadi kakek saya tidak berpendidikan tinggi atau bagaimana tetapi dia lulus dari universitas alam semesta,” ujar Armand Hartono.
Tidak mudah bagi Hartono bersaudara untuk melanjutkan bisnis keluarganya tersebut. Namun, keduanya terus berusaha membangun kembali pabrik rokok peninggalan ayah mereka. Perlahan tetapi pasti, Djarum pun bertransformasi menjadi salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia.
Pada tahun 1970-an, Djarum sukses menjadi salah satu pemasok rokok cengkeh terbesar di dunia. Pada tahun 1972, Djarum mulai mengekspor produk rokoknya ke luar negeri. Tiga tahun kemudian Djarum memasarkan Djarum Filter, merek pertamanya yang diproduksi menggunakan mesin, diikuti merek Djarum Super yang diperkenalkan pada tahun 1981. Beberapa produk Djarum yang terkenal antara lain Djarum Coklat, Djarum 76, Djarum Super, LA Lights, dan Djarum Black.
Seiring waktu, Djarum terus mendulang kesuksesan melalui bisnis tembakau sebelum akhirnya mengalami masa suram saat krisis keuangan 1998. Setelah krisis keuangan Asia pada tahun 1998, Hartono bersaudara melirik peluang pada bisnis lain dan akhirnya membeli sebagian saham Bank Central Asia (BCA) bersama dengan Grup Lippo saat itu.
Keluarga Hartono membeli saham di BCA, setelah keluarga kaya lainnya, Salim, kehilangan kendali atas bank itu selama krisis ekonomi Asia 1997-1998. Lantaran kinerja terus memberikan hasil positif, Djarum pun menambah porsi kepemilikan di bank terbesar di Indonesia tersebut hingga akhirnya kini memiliki porsi saham mayoritas.
Sampai saat ini, gurita bisnis Hartono bersaudara tersebut kian berkembang, mulai dari peralatan elektronik, properti, perkebunan hingga teknologi informasi dan game online.
Namun, Djarum tetap menjadi produsen rokok terbesar di Indonesia bersama dengan Sampoerna dan Gudang Garam. Meski regulasi tentang rokok semakin ketat, tetap saja Hartono bersaudara masih terus mendominasi takhta orang terkaya di Indonesia, sebab mereka menguasai pangsa pasar di lini bisnis yang lain.
Baca Juga: Kisah Kakek Armand Hartono Jadi Tawanan Jepang: Temukan Titik Balik di Pengasingan