Eka Tjipta Widjaja merupakan salah satu konglomerat Indonesia yang berhasil merintis kerajaan bisnis Sinar Mas Group yang telah merengkuh kesuksesan besar sejak era Orde Baru hingga sekarang.
Pria kelahiran 27 Februari 1921 dengan nama Oei Ek Tjhong itu menghabiskan masa kecilnya di Kota Makassar, Sulawesi. Ibu bapaknya membawa Eka masuk ke kota itu sejak ia masih berusia 9 tahun. Maklum saja, orang tuanya adalah pedagang yang datang dari negeri Tiongkok.
Baca Juga: Perkenalkan Sawit Terampil, Sinar Mas Raih Sertifikasi RSPO untuk Praktik Kelapa Sawit Berkelanjutan
Kendati berasal dari keluarga saudagar, namun Eka dan orang tuanya sebetulnya hidup pas-pasan, apalagi saat mereka terlilit utang rentenir. Kondisi Ekonomi keluarga mereka kian terpuruk.
Eka yang sudah beranjak dewasa memilih ikut serta memikul beban keluarga, ia mulai menjajal berbagai pekerjaan. Di kota itu, Eka mulai mengasong biskuit dan kembang gula, ia berkeliling kota setiap harinya demi mengambil sedikit keuntungan yang bisa ia bawa pulang ke rumah.
Bisnis kecil-kecilan itu lumayan menjanjikan, namun itu tak bertahan lama saat Jepang masuk ke Makassar. Bisnis Eka turut hancur bersamaan dengan masuknya tentara Nippon di kota itu. Keadaan yang tak kondusif memaksa Eka menepi untuk sesaat, remaja 17 tahun itu kehilangan pekerjaan dan kembali menganggur.
Di kemudian hari Eka mulai menjajal bisnis lain yang lebih terkonsep. Bisnis kali keduanya itu jauh lebih besar dari sekadar mengsong biskuit dan kembang gula di jalanan Kota Pelabuhan itu.
Ia mulai menjual sejumlah bahan pokok dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Dari sini pula Eka sukses menjadi kontraktor muda dengan menyuplai beton dan semen pada sebuah proyek di kota tempat tinggalnya.
Tetapi bisnis ini lagi-lagi kandas di tengah jalan setelah proyek pembangunan kuburan mewah untuk orang-orang kaya di Makassar itu tuntas dikebut. Sejak saat itu Eka tak lagi mendapat tawaran kontraktor. Sementara bisnis kebutuhan pokok ikut mandek. Singkatnya dua bisnis itu berhenti dalam waktu yang bersamaan.
Meski begitu Eka tak hilang arah, naluri sebagai seorang pebisnis mengantarnya pada sebuah usaha baru, kali ini ia berbisnis kopra, sembari berlayar dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari sentra kopra, Eka sekaligus menjual berbagai makanan ringan seperti wijen dan teng-teng.
Dari sini pula ia melihat peluang bisnis lainnya yakni gula yang pasarnya jauh lebih luas dan menggeliat, permintaan pasar lumayan besar. Eka lalu memfokuskan diri ke bisnis gula yang jauh lebih menguntungkan itu.
Bisnis ini sempat membawa Eka merengkuh kesuksesan besar, tetapi seperti seperti yang sudah-sudah Eka kembali tersandung, ia merugi saat harga gula anjlok. Modal usahanya bahkan terkuras habis. Keadaan diperburuk dengan utangnya yang kian membengkak di beberapa tempat. Kondisinya jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Baca Juga: Sinar Mas Land Dorong Pertumbuhan Ekonomi dengan Kemitraan Global di Indonesia Economic Forum 2024
Keadan ini, mendegradasi posisi Eka yang tadinya sudah mulai mapan turun ke titik terendah. Satu persatu harta kekayaan yang dengan susah payah ia kumpulkan dari bisnis sebelumnya ia preteli satu per satu, beberapa kendaraan serta perhiasan termasuk cincin perkawinannya miliknya ia turut ia jual untuk menutupi utang yang membelitnya.
***
Pasca kerugian besar itu, Eka memilih rehat sebentar dari dunia bisnis sembari mencari jalan keluar dari berbagai masalah yang sedang dihadapi. Dalam perenungan singkatnya itu, Eka memilih pindah ke Surabaya, memulai hidup baru di Jawa Timur yang kesemuanya dimulai dari nol lagi.
Tekad hijrah sudah bulat, Eka pun beranjak dari Makassar di usianya yang ke-37 tahun meninggalkan pahit manisnya kenangan di Kota Daeng.