Industri gula Indonesia tengah menghadapi tantangan serius. Produktivitas tebu domestik yang rendah, sekitar 70 ton per hektare dengan rendemen gula hanya 5-7 persen menjadi akar persoalan. Salah satu penyebabnya adalah teknologi budidaya yang masih tradisional dan pabrik gula yang sudah tua (tidak efisien) sehingga ongkos produksi gula dalam negeri menjadi sangat tinggi. Akibatnya, harga gula lokal termasuk yang termahal di dunia.
Produksi nasional yang stagnan di kisaran 2,3 juta ton per tahun tidak mampu memenuhi kebutuhan yang melebihi enam juta ton. Defisit sekitar 4-5 juta ton ini mendorong Indonesia mengimpor gula dalam jumlah besar, menjadikannya salah satu importir gula terbesar di dunia.
Meski impor menutup kekurangan pasokan, ketergantungan ini justru melemahkan ketahanan pangan nasional. Apalagi, harga gula lokal yang 2-3 kali lipat lebih mahal dari harga global memicu banjirnya gula impor di pasar domestik. Disparitas harga ini tidak terlepas dari ongkos produksi yang mahal akibat rendahnya produktivitas dan efisiensi di sektor hulu hingga hilir.
Baca Juga: Mengendalikan Konsumsi Gula Berkadar Tinggi di Masyarakat
Bagi petani tebu, situasi ini menciptakan tekanan ekonomi yang berat. Keuntungan yang rendah dan lambatnya perputaran modal, sekitar 10 bulan dari tanam hingga panen membuat budidaya tebu semakin tidak menarik. Banyak petani kesulitan bertahan karena biaya produksi yang tinggi tidak sebanding dengan hasil yang diterima. Minimnya insentif dan ketidakpastian harga memperparah kondisi ini, mendorong sebagian petani beralih ke komoditas lain yang dinilai lebih menguntungkan dan cepat menghasilkan.
Modernisasi, Ekspansi, dan Digitalisasi
Pemerintah telah meluncurkan serangkaian langkah strategis untuk mengejar swasembada gula, dengan menempatkan modernisasi industri sebagai fokus utama. Revitalisasi pabrik gula menjadi prioritas, terutama pabrik-pabrik milik BUMN yang selama ini masih menggunakan mesin tua dan teknologi yang tidak efisien.
Melalui skema penyertaan modal negara (PMN), PTPN Group mendapatkan mandat untuk merevitalisasi dan membangun pabrik-pabrik baru yang berkapasitas giling tinggi dan lebih efisien. Tak hanya berhenti pada proses utama produksi, program ini juga mendorong pemanfaatan limbah tebu menjadi produk bernilai tambah seperti bioetanol, biogas, listrik, dan pupuk organik, sehingga meningkatkan efisiensi dan daya saing industri gula nasional.
Di sektor hulu, strategi intensifikasi menjadi tulang punggung peningkatan produktivitas tebu. Pemerintah mendorong penggunaan varietas unggul, pemupukan berimbang, mekanisasi tanam dan panen, serta perbaikan irigasi agar hasil panen per hektare meningkat signifikan.
Lahan-lahan tebu yang telah lama digunakan akan diremajakan dengan bibit baru berproduktivitas tinggi yang diperkirakan dapat dipanen dalam 2–3 tahun ke depan. Upaya ini diperkuat melalui distribusi pupuk bersubsidi dan penyediaan benih berkualitas, bekerja sama dengan BUMN. Targetnya adalah meningkatkan produktivitas tebu dari lima ton menjadi delapan ton gula per hektare sehingga gula lokal dapat lebih bersaing dengan produk impor.
Selain intensifikasi, pemerintah juga menggenjot ekstensifikasi lahan sebagai solusi jangka panjang untuk mencukupi kebutuhan industri gula nasional. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 menargetkan perluasan lahan tebu hingga satu juta hektare pada tahun 2030. Dalam tahap awal, tambahan 200 ribu hektare akan dikembangkan melalui optimalisasi lahan terlantar dan pemanfaatan kawasan perhutanan sosial.
Realisasi ekspansi ini membutuhkan sinergi erat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama dalam menyiapkan infrastruktur dasar seperti irigasi, akses jalan, dan fasilitas penunjang lainnya agar lahan segera produktif.
Untuk memperkuat posisi petani sebagai aktor utama dalam rantai produksi, pemerintah meluncurkan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus tebu dengan bunga rendah sebesar 6% per tahun. Skema ini dirancang agar petani dapat memperoleh akses pembiayaan yang lebih mudah untuk keperluan bongkar ratoon, penanaman ulang, hingga penerapan teknologi pertanian modern.
Langkah strategis lainnya adalah penerapan digitalisasi dalam pengelolaan industri tebu. Holding PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) telah menyusun roadmap pengelolaan perkebunan tebu berbasis teknologi digital. Platform ini memungkinkan pemetaan lahan secara presisi, pemantauan pertumbuhan tanaman, hingga integrasi data hasil panen antara petani dan pabrik secara real time.
Inovasi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam sistem produksi, tetapi juga membangun konektivitas antara petani dan ekosistem industri gula yang modern dan berkelanjutan.
Kepemimpinan, Koordinasi, dan Konsistensi Kebijakan
Meskipun berbagai program telah digulirkan, mewujudkan swasembada gula dalam waktu singkat bukanlah tugas yang mudah. Target swasembada pada 2028 terbilang ambisius mengingat produksi gula nasional saat ini baru mencapai sekitar 2,4 juta ton per tahun, sementara kebutuhan konsumsi nasional sudah menembus delapan juta ton.
Selisih lebih dari lima juta ton tersebut menuntut peningkatan produksi yang sangat besar dalam waktu terbatas. Karena itu, peningkatan produktivitas mutlak menjadi prioritas utama. Program bongkar ratoon dan penanaman ulang varietas unggul perlu dijalankan secara tepat waktu dan terkoordinasi, dengan jaminan ketersediaan benih, alat dan mesin pertanian, serta pendampingan teknis di lapangan.
Selain aspek teknis budidaya, keberhasilan swasembada sangat bergantung pada dukungan pembiayaan dan kepastian pasar. Skema kredit usaha rakyat (KUR) dan subsidi harus benar-benar mudah diakses dengan prosedur yang sederhana dan waktu pencairan yang sesuai dengan kebutuhan musim tanam.
Kemitraan antara petani dan pabrik gula juga perlu diperkuat untuk menjamin harga beli yang adil dan sistem pembayaran yang tepat waktu. Stabilitas harga sangat penting untuk menjaga keberlanjutan usaha tani tebu. Pemerintah wajib memastikan bahwa harga tebu di tingkat petani tetap menguntungkan, setidaknya hingga produktivitas meningkat dan biaya produksi dapat ditekan.
Seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi dalam negeri, impor gula perlu dikendalikan secara ketat dan diturunkan secara bertahap agar tidak melemahkan semangat petani dan keberlangsungan industri lokal.
Yang juga tak kalah penting adalah revitalisasi pabrik gula yang masih banyak beroperasi dengan teknologi usang dan efisiensi rendah. Rendemen gula di banyak pabrik hanya sekitar 7%, sementara potensi ideal bisa mencapai 9–10%. Kenaikan rendemen ini, meski tampak kecil, dapat berdampak besar terhadap volume produksi nasional tanpa perlu menambah lahan. Oleh karena itu, investasi dalam modernisasi mesin dan teknologi pabrik harus menjadi prioritas nasional.
Namun, seluruh program ini tidak akan efektif tanpa pelaksanaan yang konsisten dan berkelanjutan. Kunci keberhasilan terletak pada kepemimpinan yang kuat dan sinergi antarlembaga. Kementerian Pertanian harus mampu mengoordinasikan lintas sektor, dari BUMN, perindustrian, perdagangan, hingga pemerintah daerah agar kebijakan berjalan selaras dari hulu ke hilir.
Lebih dari itu, konsistensi politik pangan harus dijaga lintas pemerintahan. Kepastian arah kebijakan akan memberikan rasa aman bagi petani dan pelaku industri untuk berinvestasi dan berproduksi, sekaligus menegakkan kedaulatan pangan berbasis komoditas strategis dalam negeri.