Salah satu negara awal yang memulai langkah dalam kebijakan lingkungan hidupnya adalah Uni Eropa yang menyelenggarakan Paris Summit pada tahun 1972 dengan membuat pertemuan antarnegara anggota. Uni Eropa mulai membuat kebijakan lingkungan hidup dalam hal penanganan polusi udara pada 1973-1976 dan 1977-1981. Selain Bank Dunia, Uni Eropa juga menjadi salah satu pihak yang membentuk ekonomi karbon lewat mekanisme pengurangan emisi (European Union Emissions Trading System).
Akan tetapi, kebijakan ekonomi karbon juga tidak terlepas dari kritik karena dianggap belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan lingkungan. Kebijakan ini lahir dari aktor negara yang masih menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai pemicunya. Selain ekonomi karbon, ekonomi sirkular juga lahir dari kebijakan politik hijau. Kini, dunia sepakat, termasuk Indonesia, untuk mengurasi emisi karbon mereka.
Baca Juga: Hashim Apresiasi Peran Aktif Perdagangan Karbon Indonesia, Terbesar dari PLN
Peran Indonesia
Lewat Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada tahun 2022, Indonesia berkomitmen mempercepat transisi energi bersih dan energi terbarukan. Melalui Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014, Indonesia akan mendorong bauran energi hingga tahun 2050 dengan proporsi bauran energi berasal dari batu bara kurang 25%; minyak bumi sebesar kurang dari 20%; gas bumi sebesar 24% atau kurang; serta penggunaan energi terbarukan hingga 33% atau lebih.
Meski telah mendapatkan dana JETP sebesar US$20 juta dolar, Indonesia masih menghadapi dilema akibat kekurangan biaya pembangunan sektor energi transisi hingga 70%. Sementara itu, indeks kesiapan Indonesia menghadapi transisi energi berada di urutan ke-71 dari 115 negara, menunjukkan belum optimalnya langkah Indonesia dalam upaya transisi energi.
Pentingnya Adaptasi
Dengan risiko yang ada, kebijakan pemerintah yang bersumber pada keberlanjutan mutlak dilakukan. Selain itu, perlu adanya kolektivitas dari semua negara di dunia serta masyarakat dalam menjalankan adaptasi perilaku guna menyelamatkan bumi. Nelson (2007) membeberkan tiga alasan kuat mengenai pentingnya kapasitas adaptif dalam sistem sosial-ekologi, yakni:
- Pertama, risiko lingkungan hidup di masa dengan sangat nyata dan dapat diprediksi;
- Kedua, perubahan lingkungan hidup dapat menjadi risiko yang signifikan terhadap sistem sosial-ekologi; serta
- Ketiga, perubahan lingkungan hidup merupakan hasil dari beragam faktor penggerak akibat kegiatan manusia.