Isu mengenai keberlanjutan atau sustainability kini menjadi arus utama dalam setiap aspek kehidupan, termasuk kebijakan politik, seiring berkembangnya keprihatinan akan keadaan alam yang menurun akibat perubahan iklim. Pasca-Paris Agreement tahun 2015, istilah ekonomi sirkular dan penerapannya pun makin sering dibicarakan dalam penentuan berbagai kebijakan.

Lewat buku Politik Hijau: Pengantar Menunju Isu-isu Kontemporer yang ditulis oleh Dr. Ica Wulansari, M.Si., dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, pembaca akan disuguhkan perkembangan politik hijau yang lahir sejak tahun 1960-an hingga perkembangannya saat ini. Buku ini diterbitkan oleh Nas Media Indonesia pada tahun 2024 dan mencakup 11 bab.

Baca Juga: 10 Buku tentang Personal Finance Terbaik untuk Capai Kestabilan Keuangan di Tahun 2025

Ekologi sebagai Sumber

Munculnya politik hijau didasari kesadaran akan bergantungnya kondisi alam akibat kegiatan manusia (ekologi). Dengan kata lain, setiap aktivitas manusia, terutama usai berkembangnya revolusi industri, telah memengaruhi kondisi alam dan mengancam keberlangsungannya di masa depan.

Ilmuwan disebut sebagai pionir dalam perkembangan teori politik hijau dengan mulai memublikasikan hasil penelitian mereka terkait kerusakan lingkungan hidup dan dampaknya terhadap manusia dan sistem bumi sejak tahun 1960-an. Pada masa awalnya, tokoh-tokoh (aktor) non-negara memegang peranan penting bagi munculnya politik hijau.

Selain ilmuwan, munculnya gerakan dari akar rumput yang berdemonstrasi pada peringatan hari bumi (Earth Day) tahun 1970-an menjadi awal lahirnya environmentalisme. Ideologi ini bertujuan melindungi lingkungan hidup dari kerusakan.

Apa Itu Politik Hijau?

Kesadaran akan pentingnya mengontrol tindakan manusia karena berdampak pada alam awalnya didorong oleh aktor non-negara seperti ilmuwan dan aktivis. Secara empiris, penulis menjelaskan bahwa makin banyak aktor non-negara terlibat dalam isu lingkungan hidup dan sosial sejak KTT Perubahan Iklim tahun 1992. Salah satu pendorongnya adalah laporan berjudul Limits to Growth pada tahun 1970-an soal kemungkinan pertumbuhan ekonomi dan populasi yang tidak terbatas, sedangkan pasokan sumber daya terbatas. Kini, muncul gerakan yang dikenal dengan sebutan green growth yang berfokus kepada penciptaan kehidupan yang efisien dan berkelanjutan.

Mengutip Eckersley, 2004, terdapat empat pilar dalam GPT (green political theory) atau Teori Politik Hijau. Keempatnya ialah (1) tanggung jawab ekologis; (2) demokrasi akar rumput; (3) keadilan sosial; serta (4) gerakan tanpa kekerasan. Politik hijau bersandar pada ekologi. Pandangan ini menunjukkan bahwa setiap kegiatan manusia akan berpengaruh pada lingkungan hidup sehingga dibutuhkan intervensi dalam bentuk kebijakan.

Salah satu negara awal yang memulai langkah dalam kebijakan lingkungan hidupnya adalah Uni Eropa yang menyelenggarakan Paris Summit pada tahun 1972 dengan membuat pertemuan antarnegara anggota. Uni Eropa mulai membuat kebijakan lingkungan hidup dalam hal penanganan polusi udara pada 1973-1976 dan 1977-1981. Selain Bank Dunia, Uni Eropa juga menjadi salah satu pihak yang membentuk ekonomi karbon lewat mekanisme pengurangan emisi (European Union Emissions Trading System).

Akan tetapi, kebijakan ekonomi karbon juga tidak terlepas dari kritik karena dianggap belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan lingkungan. Kebijakan ini lahir dari aktor negara yang masih menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai pemicunya. Selain ekonomi karbon, ekonomi sirkular juga lahir dari kebijakan politik hijau. Kini, dunia sepakat, termasuk Indonesia, untuk mengurasi emisi karbon mereka.

Baca Juga: Hashim Apresiasi Peran Aktif Perdagangan Karbon Indonesia, Terbesar dari PLN

Peran Indonesia

Lewat Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada tahun 2022, Indonesia berkomitmen mempercepat transisi energi bersih dan energi terbarukan. Melalui Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014, Indonesia akan mendorong bauran energi hingga tahun 2050 dengan proporsi bauran energi berasal dari batu bara kurang 25%; minyak bumi sebesar kurang dari 20%; gas bumi sebesar 24% atau kurang; serta penggunaan energi terbarukan hingga 33% atau lebih.

Meski telah mendapatkan dana JETP sebesar US$20 juta dolar, Indonesia masih menghadapi dilema akibat kekurangan biaya pembangunan sektor energi transisi hingga 70%. Sementara itu, indeks kesiapan Indonesia menghadapi transisi energi berada di urutan ke-71 dari 115 negara, menunjukkan belum optimalnya langkah Indonesia dalam upaya transisi energi.

Pentingnya Adaptasi

Dengan risiko yang ada, kebijakan pemerintah yang bersumber pada keberlanjutan mutlak dilakukan. Selain itu, perlu adanya kolektivitas dari semua negara di dunia serta masyarakat dalam menjalankan adaptasi perilaku guna menyelamatkan bumi. Nelson (2007) membeberkan tiga alasan kuat mengenai pentingnya kapasitas adaptif dalam sistem sosial-ekologi, yakni:

  • Pertama, risiko lingkungan hidup di masa dengan sangat nyata dan dapat diprediksi;
  • Kedua, perubahan lingkungan hidup dapat menjadi risiko yang signifikan terhadap sistem sosial-ekologi; serta
  • Ketiga, perubahan lingkungan hidup merupakan hasil dari beragam faktor penggerak akibat kegiatan manusia.