Tantangan Industri Sawit dalam Mencapai Target 2045
Lanjut dr. Jenny, ada berbagai tantangan yang dihadapi industri sawit dalam mencapai target produksi yang telah ditetapkan untuk mendukung visi Indonesia Emas 2045. Pertama, dari segi produktivitas dan rendemen.
Perkembangan industri sawit di Indonesia selama lebih dari 40 tahun, di mana peningkatan produksi Tandan Buah Segar (TBS) di kebun masih relatif kecil. Bahkan, saat ini produktivitas minyak sawit Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Malaysia.
“Produktivitas minyak sawit di Indonesia masih di bawah Malaysia. Jadi kita Masih punya gape yang cukup besar untuk mencapai tingkat produktivitas yang optimum,” kata dr. Jenny.
Adapun rata-rata nasional produktivitas minyak sawit Indonesia menyentuh 3,4 ton per hektar per tahun. Sementara untuk perusahaan besar yang memiliki manajemen sawit yang lebih baik rata-rata produksinya mencapa 6,8 ton, dan potensi produksinya sebenarnya ada di 8,0 ton.
"Jadi kita masih punya gape yang tinggi untuk mencapai potensi produksi ini, nggak sampai 50 persen potensi produksi yang bisa kita kerjakan agar target di tahun emas untuk produksi sawit tercapai,” tambahnya.
Selain produktivitas, tingkat rendemen atau efisiensi ekstraksi minyak sawit dari Tandan Buah Segar di Indonesia juga masih rendah. Idealnya, produksi TBS harus mencapai 35 ton, sementara Oil Extraction Rate (OER) atau tingkat ekstraksi minyak sawit ditargetkan sebesar 26 persen. Namun, saat ini angka OER masih berada di kisaran 20-21 persen, yang berarti masih ada ruang perbaikan untuk meningkatkan efisiensi produksi minyak sawit.
Kemudian, teknologi ekstraksi minyak sawit tidak mengalami perkembangan signifikan selama 40 tahun terakhir. Proses perebusan dan pengepresan masih membutuhkan banyak energi dan air, sehingga diperlukan inovasi teknologi yang lebih efisien.
Tantangan lainnya adalah peremajaan kebun sawit masih berjalan lambat. Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang difasilitasi pemerintah baru terealisasi sekitar 30% dari target, bahkan pada 2024 hanya mencapai 22%.
“Dan untuk pencapain ini maka pemerintah berpikir bahwa atau menerapkan program sertifikasi sustainable palm oil atau sertifikasi ISPO. Jadi, target pemerintah pada 2025, kebun yang sudah tersertifikasi ISPO itu seharusnya sudah semua, tapi sampai saat ini baru 37%, masih ada lebih dari 60% gap dan masalah yang harus kita cari tahu bagaimana jalan keluarnya dan apa penyebabnya,” papar dr. Jenny.
Terakhir, mengenai pemanfaatan limbah sawit. Dari industri sawit di dunia, ada sekitar 100 juta ton limbah yang harus dikelola. Menurut dr. Jenny, saat ini harus berpikir bahwa limbah ini tidak hanya dikelola, tetapi juga harus diolah lebih lanjut agar bisa menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis.
Baca Juga: Kebijakan Baru Penataan Lahan Sawit, Fokus pada Keadilan Sosial dan Keberlanjutan Ekonomi
Solusi & Strategi dan Masa Depan Industri Sawit
Dari segenap tantangan yang ada, pemerintah dan stakeholder tentunya tak diam untuk bisa mencapai target sawit Indonesia Emas 2045 mendatang. Dr. Jenny juga mengungkap sejumlah langkah strategis untuk mempercepat pencapaian target industri sawit pada 2045.
Di antaranya adalah program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan sertifikasi petani harus dipercepat. Selain itu, perbaikan praktik agronomis seperti penggunaan benih unggul, pemupukan berimbang, teknik panen yang baik, pengendalian penyakit, serta pemulihan tanaman yang terserang harus diterapkan untuk meningkatkan produktivitas.
Kemudian, pengembangan varietas kelapa sawit yang lebih tahan cekaman air, resisten terhadap penyakit, dan lebih efisien dalam menyerap unsur hara juga menjadi faktor kunci dalam meningkatkan hasil panen.
Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kelapa sawit secara signifikan. Selain itu, penerapan teknologi biomolekuler maju di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan pabrik minyak inti sawit juga diperlukan untuk meningkatkan indeks produktivitas dan efisiensi industri sawit secara keseluruhan.
“Di sisi lain, kita juga harus bersiap menghadapi kelangkaan tenaga kerja, khususnya di kebun. Tantangan terbesar ada pada proses panen dan pasca panen, di mana penelitian menunjukkan bahwa mekanisasi dan otomasi dalam panen kelapa sawit merupakan hal yang sulit dikembangkan akibat kondisi lahan yang menantang. Oleh karena itu, perlu inovasi dalam mekanisasi dan otomatisasi yang lebih adaptif terhadap kondisi lapangan,” imbuh dr. Jenny.
Selain itu, digitalisasi juga harus terus dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas operasional dan memastikan ketertelusuran (traceability) hasil panen, sehingga industri sawit dapat lebih transparan dan berdaya saing.