Di tengah disrupsi penggunaan teknologi AI yang makin masif, kepercayaan menjadi salah satu faktor penting bagi pengguna untuk berinteraksi dengan brand. Hal ini terangkum dalam laporan Accenture Life Trends 2025 yang mencatat sekitar 64% masyarakat Indonesia mempertanyakan konten yang mereka dapatkan secara daring, dan 72% mengatakan bahwa kepercayaan merupakan faktor penting bagi mereka ketika memilih untuk berinteraksi dengan/menggunakan brand tertentu.

Accenture Life Trends 2025 mencatat lima tren makro global yang meramalkan perubahan dinamika antara teknologi dan pengguna, serta tantangan dan peluang bagi brands yang menyesuaikan strategi mereka untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berkembang. Lima tren makro global ini dikumpulkan dari seluruh dunia dan memprediksi perubahan dinamika antara teknologi dan konsumen, serta tantangan dan peluang bagi brands ketika mereka menyesuaikan strategi mereka untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berkembang.

Baca Juga: Kolaborasi Schneider Electric dan ITB Kembangkan Pendidikan Rekayasa Berbasis Teknologi di Indonesia

1. Cost of Hesitations

Kepercayaan terhadap teknologi digital terancam karena meningkatnya penipuan yang mengaburkan batas antara konten yang asli dan konten yang palsu atau bersifat menipu. AI Generatif memperkuat kebingungan ini sehingga menantang kepercayaan masyarakat terhadap platform digital. Penelitian Accenture menunjukkan bahwa lebih dari setengah masyarakat Indonesia (64%) kini mempertanyakan keaslian konten daring. Erosi kepercayaan berdampak pada belanja daring dan interaksi dengan brands dengan 73% responden Indonesia mempertanyakan keaslian ulasan produk dan 31% orang melaporkan adanya serangan atau penipuan dalam setahun terakhir.

"Percepatan konten AI generatif ke semua tempat di mana orang secara tradisional menemukan, bersosialisasi, dan berbelanja online menyebabkan masalah kepercayaan dan memicu keraguan. Hal ini menyebabkan brands perlu meyakinkan konsumen dengan menumbuhkan kepercayaan dalam komunikasi, proses jual beli, dan produk," sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (9/1/2025).

2. The Parent Trap

Para orang tua menghadapi tantangan untuk membantu generasi berikutnya membangun hubungan yang sehat dengan teknologi digital. Namun, hal ini berpotensi bertentangan dengan keinginan dari generasi tersebut. Temuan Accenture mengungkapkan bahwa mereka yang berusia 18-24 tahun dua kali lebih mungkin dibandingkan mereka yang berusia di atas 55 tahun untuk mengatakan bahwa media sosial berdampak pada identitas mereka (66% vs 45%). Ketika orang dewasa muda menghadapi dampak negatif tersebut, diperlukan tindakan untuk menemukan keseimbangan yang tepat dan langkah-langkah perlindungan.

3. Impatience Economy

Banyak budaya yang menekankan bahwa pendidikan, kerja keras, dan tekad yang kuat dapat membentuk masa depan yang diinginkan. Namun, tren Dekade Dekonstruksi tahun lalu mengungkapkan bahwa tujuan dan prioritas makin bergeser.

Di Indonesia, 88% responden akan lebih terlibat dengan merek yang mengedukasi mereka melalui blog dan video. Influencer dulunya hanya berfokus pada gaya, perjalanan, dan musik, tetapi kini mereka telah memperluas cakupan mereka hingga mencakup hal-hal mendasar dalam hidup seperti kesehatan, kekayaan, dan kebahagiaan.

4. The Dignity of Work

Martabat pekerjaan makin diuji oleh tekanan bisnis, kemajuan teknologi, dan dinamika perubahan. Ketika AI generatif memasuki tempat kerja, martabat pekerjaan harus diperhitungkan dalam ekspektasi baru tentang bagaimana orang akan bekerja dengan teknologi.

Di Indonesia, 88% responden merasa bahwa perangkat AI generatif sangat membantu mereka dalam bekerja, dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi menjadi hal yang paling sering dikomunikasikan (70%) oleh para pemberi kerja kepada para karyawan mereka tentang AI generatif. Hal ini diikuti dengan pengembangan keterampilan karyawan (60%) yang melampaui rata-rata global sebesar 39%. Para pemimpin harus menumbuhkan motivasi dan kebebasan karena keduanya merupakan kunci untuk menghasilkan pekerjaan yang berkualitas tinggi.

5. Social Rewilding

Orang-orang makin mencari sesuatu yang autentik dan orisinal dalam kehidupan mereka yang bertujuan untuk terlibat dengan dunia dengan cara yang bermakna. Hal ini mencerminkan keinginan baru untuk terhubung kembali dengan alam dan satu sama lain atau mencari keseimbangan antara teknologi dan momen-momen sukacita dan kesejahteraan.

Sebanyak 15% responden Indonesia mengatakan bahwa pengalaman yang paling menyenangkan di minggu sebelumnya adalah pengalaman yang dilakukan secara langsung fisik. Selain itu, 30% orang Indonesia mengatakan bahwa mereka makin menghargai joy of missing out pada teknologi-atau JOMO.

Baca Juga: 6 Teknologi Baru untuk Membangun Startup di Tahun 2025

Responden survei juga mengatakan bahwa mereka lebih banyak melakukan aktivitas tatap muka dalam 12 bulan terakhir: 66,5% responden survei mengatakan bahwa mereka menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman mereka dalam kehidupan nyata; 59,6% berbelanja di toko bahan makanan; 42,1% berbelanja di toko ritel fisik lainnya; dan 57,8% menghabiskan lebih banyak waktu di luar ruangan atau di alam.

Pergeseran ini memberikan kesempatan bagi berbagai bisnis untuk memikirkan kembali peran mereka dan menyelaraskannya dengan keinginan masyarakat yang terus meningkat untuk mendapatkan pengalaman yang lebih mendalam dan autentik.

"Berbagai brands harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip AI yang bertanggung jawab-transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Bagi pelanggan, hal ini berarti kepercayaan yang lebih besar terhadap penggunaan data mereka dan keadilan keputusan yang dihasilkan oleh AI," ungkap Jayant Bhargava, Country Managing Director, Indonesia di Accenture.

Joseph Tan, Accenture Song Lead di Indonesia, mengatakan, laporan Life Trends menyoroti bahwa masyarakat Indonesia mendefinisikan ulang hubungan mereka dengan teknologi, mengkaji ulang bagaimana media sosial membentuk identitas mereka, menggunakannya untuk belajar dan berkembang, dan bahkan memilih untuk memutuskan hubungan demi interaksi yang lebih tatap muka.

"Pergeseran ini mencerminkan makin berkembangnya JOMO (Joy of Missing Out), di mana menjauh dari konektivitas yang konstan memungkinkan hubungan yang lebih dalam dan lebih autentik. Masyarakat Indonesia makin menghargai teknologi yang memberdayakan mereka untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, meningkatkan produktivitas tanpa mengurangi hubungan yang autentik dan tatap muka. Brands yang merancang pengalaman dengan jelas tidak hanya akan memenuhi ekspektasi ini, tetapi juga membangun kepercayaan dan membina hubungan yang lebih dalam dan lebih bermakna dengan para pelanggannya," pungkasnya.