Pendiri Triputra Group, Theodore Permadi Rachmat, membagikan kisah masa mudanya saat diminta bergabung membesarkan Astra Group oleh sang paman, William Soerjadjaja. Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1968 ini mengaku baru saja menyelesaikan kuliah ketika diajak langsung oleh Pak William untuk terjun ke bisnis alat berat, yang kemudian menjadi cikal bakal United Tractors.
“Saya masih ingat, waktu itu dipanggil di Wastu Kencana, Bandung. Pak William bilang, ‘Kamu mau ikut saya nggak? Kita mulai bisnis heavy equipment, coba ambil dealer Caterpillar’,” ujar pria yang akrab disapa TP Rachmat itu.
Tanpa sempat menghadiri acara wisuda, ia langsung diberangkatkan ke Belanda untuk bekerja di Heverke, dealer resmi Caterpillar di sana. Setelah enam bulan, ia melanjutkan pelatihan ke Inggris untuk memperdalam teknologi Hydraulic Machinery dari High Mach, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia setahun kemudian.
Baca Juga: Mengulik Kerajaan Bisnis Triputra Group yang Dibangun TP Rachmat
Setibanya di tanah air, ia melapor kepada Pak William dan mulai menjalankan usaha dari kantor kecil di Juanda 3 No. 11, Jakarta. Kantor tersebut bukan hanya tempat bekerja, tapi juga menjadi tempat tinggal bersama sejumlah staf Astra yang masih sangat kecil pada masa itu.
“Malamnya dipakai nginep, siangnya jadi kantor. Astra waktu itu juga belum besar,” kenangnya.
Namun, perjalanan awal tidak mudah. United Tractors saat itu belum mendapatkan merek ternama dan sempat memegang keagenan alat berat dari Salmers. Sayangnya, upaya bersaing dengan Caterpillar milik Trakindo (keluarga Hamami) terbukti berat.
“Harga tidak lebih murah, kualitas setara, tapi image jelek dan spare part susah. Rasanya, kami nggak akan bisa menang kalau begini terus,” tutur TP Rachmat.
Baca Juga: United Tractors Bukukan Laba Bersih Rp8,1 Triliun di Semester Pertama Tahun 2025
Melihat peluang, ia memutuskan langkah besar untuk mengambil Komatsu sebagai mitra. Meskipun saat itu belum terlalu dikenal, Komatsu menawarkan harga 40% lebih murah dibanding Caterpillar dan kualitas yang dinilai hanya 10% lebih rendah.
Dukungan keuangan dari mitra Jepang, seperti Sumitomo dan Marubeni juga memungkinkan United Tractors menawarkan kredit pembelian kepada pelanggan, sesuatu yang saat itu belum bisa dilakukan pesaingnya.
Keputusan tersebut terbukti tepat. Perlahan tapi pasti, United Tractors mulai merebut pangsa pasar. Strategi jangka panjang dan keberanian mengambil risiko menjadikan United Tractors sebagai pemain utama di industri alat berat Indonesia.
“Dulu kami bisa kuasai market share sampai 60%. Sekarang sekitar 30%,” tutupnya.