Mukjizat di Tengah Derita
Bagi seorang pebisnis besar seperti Ciputra, menjalani kehidupan penuh tantangan sudah menjadi bagian dari perjalanan panjangnya. Namun, tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan logika, strategi, atau kekuatan modal.
Ada kalanya, sesuatu yang jauh lebih tinggi bekerja dalam senyap, dan di situlah Ciputra mengalami salah satu titik balik spiritual paling luar biasa dalam hidupnya.
Kisah ini terjadi ketika ia tengah mempersiapkan diri untuk operasi besar di bahunya, akibat nyeri hebat yang telah dideritanya selama berbulan-bulan. Rasa sakit itu membuat aktivitas sehari-hari menjadi mimpi buruk. Ia tak bisa mengangkat lengannya, mandi pun terasa menyiksa, tidur menjadi penderitaan yang berulang.
“Hidup terasa sengsara. Bahu saya begitu nyeri hingga untuk mengangkat lengan saja saya tak bisa,” ujarnya.
Setelah mencoba berbagai pengobatan di Jakarta dan Singapura, akhirnya Ciputra memutuskan untuk menjalani operasi di Perth, Australia, bersama seorang ahli ortopedi ternama, Dr. Peter Campbell.
Segala persiapan telah dilakukan, jadwal operasi sudah ditetapkan. Namun, sehari sebelum operasi, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Dua perempuan paruh baya, Vera Lim dan Teresa Tay, sahabat dari putrinya, Yunita, datang menjenguk ke hotel tempat Ciputra menginap. Mereka bukan dokter, bukan terapis, melainkan dua pendoa yang datang dengan keyakinan yang kuat.
“Kami yakin penyakit ini bisa disembuhkan dengan doa,” kata mereka sungguh-sungguh, sambil menatap dan memegang lengan Ciputra.
Meski Ciputra sangat percaya pada kuasa Tuhan, secara manusiawi ia meragukan kemungkinan bahwa doa saja bisa menyembuhkan sakit fisiknya. Namun ia bersedia menerima ajakan mereka untuk berdoa.
Mereka menutup mata. Kata-kata doa mengalir dalam keheningan yang khusyuk. Setelah beberapa menit, Vera Lim membuka mata dan memandang Ciputra.
“Angkat, Pak Ci. Ayo angkat lengan Bapak,” katanya lembut, namun penuh keyakinan.
Ciputra sempat tertegun. Ia tahu betul bahwa sudah berbulan-bulan lengan itu tak bisa digerakkan tanpa rasa sakit yang luar biasa. Tapi ia turuti. Lengan itu terangkat sedikit. Masih sakit, tapi bergerak.
“Lagi. Angkat lagi,” pinta Vera Lim.
Ia mencoba lagi. Lebih tinggi. Sedikit lebih sakit, namun masih bisa. Lalu sekali lagi. Dan kali ini, rasa sakit itu hilang.
“Saya dengan sangat bersemangat mengangkat lengan lebih tinggi. Saya menggerakkan lagi. Lagi. Dan lagi. Semakin tinggi. Tiada rasa sakit! Saya bisa mengangkat lengan sampai batas yang tak bisa lagi diteruskan. Saya sembuh! Ajaib!,” tutur Ciputra.
Sontak, Ciputra pun menangis malam itu. Di hadapan Vera Lim, Teresa Tay, dan keluarganya, ia menangis dalam doa, bukan karena penderitaan, tetapi karena keajaiban yang baru saja ia alami. Mukjizat, kata yang tak berlebihan.
Keesokan paginya, ia menelepon Dr. Peter Campbell.
“Sudah sembuh, Dokter. Bahu saya sudah tidak sakit lagi. Dan lengan saya sudah bisa digerakkan,” ujarnya dengan riang.
Di ujung telepon, sang dokter terdiam. Lalu menjawab dengan suara tak percaya, “Wow! Bagaimana bisa, Pak?”
“Ada mukjizat, Dok. Sekarang saya menelepon Anda untuk membatalkan operasi hari ini. Down payment yang telah dibayarkan tidak perlu dikembalikan,” beber Ciputra kala itu.
Perjalanan pulang dari Perth ke Singapura lalu Jakarta, menjadi perjalanan batin yang dalam. Di pesawat, ia terus merenungkan peristiwa malam itu, bagaimana doa yang hanya berlangsung belasan menit bisa menyembuhkan nyeri yang telah melumpuhkannya selama berbulan-bulan.
“Apa namanya kalau bukan mukjizat?,” tandas Ciputra.
Baca Juga: Kisah Ciputra Membangun Citraland Sambil Mencetak Pemimpin Tangguh dari Keluarga