Di balik gemerlap pencakar langit dan megaproyek yang mengubah lanskap kota-kota besar di Indonesia, berdirilah sosok visioner bernama Ir. Ciputra, Founder Ciputra Group, tokoh besar yang dikenal karena dedikasinya dalam dunia properti dan pendidikan.

Namun siapa sangka, di balik reputasi dan kejayaannya, tersimpan kisah pilu yang nyaris melumat hidupnya. Tak banyak yang tahu, Ciputra pernah berada di titik tergelap dalam hidupnya. Bukan sekadar kegagalan bisnis, tapi sebuah kejatuhan yang menguji imannya, keteguhan hatinya, dan makna hidup yang ia yakini.

Dalam buku biografinya Ciputra: The Entrepreneur, The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, ia membuka tabir tentang masa-masa penuh luka antara tahun 1998 hingga 2002, saat Indonesia terpuruk dalam krisis moneter.

Di tengah runtuhnya fondasi ekonomi nasional, banyak pengusaha menyerah dan meninggalkan Tanah Air, meninggalkan utang, meninggalkan perjuangan. Namun, tidak dengan Ciputra.

Alih-alih lari dari kenyataan, Ciputra memilih untuk tetap berdiri, menghadapi badai dengan keberanian dan iman yang dalam. Dan dari reruntuhan itulah, ia membangun kembali bukan hanya kerajaannya, tetapi juga jiwanya.

“Kami terus berada di tempat ketika banyak orang yang terlilit utang lari ke luar negeri. Kami menghadapi masalah dengan wajah tegak. Tidak perlu merasa malu atau terinjak. Ini memang sudah takdir,” ungkapnya dengan jujur,” terangnya, sebagaimana dikutip Olenka, Senin (4/8/2025).

Di atas kertas, perusahaan-perusahaan milik Ciputra nyaris hancur. Neraca keuangan compang-camping, utang menumpuk, dan harapan semakin menipis. Bahkan, ia sendiri sempat berpikir, semuanya sudah selesai. Namun, kenyataan berbicara lain dan mungkin, keajaiban pun turut campur.

“Saya saja, yang begitu percaya diri dan sangat yakin pada kemampuan saya, sudah menganggap perusahaan saya tamat. Tapi lihatlah yang terjadi. Grup perusahaan saya tetap tegak berdiri. Tuhan menunjukkan kuasa-Nya,” ungkapnya.

Dibeberkan Ciputra, lima tahun setelah badai krisis menerpa, langit mulai cerah kembali. Proyek-proyek yang sempat mati suri kembali hidup. Arus kas yang dulu nyaris kering kini kembali mengalir sehat. Namun, di balik pemulihan itu, lahir pula sosok Ciputra yang baru, sosok yang lebih dalam, lebih spiritual, dan jauh lebih rendah hati.

“Krismon membawa perubahan sangat besar dalam diri saya. Ciputra sebagai pemimpin bisnis dan Ciputra sebagai pribadi. Saya semakin melihat cahaya Yang Mahakuasa. Terasa dekat sentuhan-Nya. Terasa lebih jelas suara-Nya,” ungkapnya.

Dalam masa-masa tergelap itu, justru ia menemukan terang yang sejati. Tangisan dan doa menjadi bagian dari rutinitasnya, bukan karena kelemahan, tapi karena kesadaran bahwa segala daya dan upaya manusia ada batasnya, dan di situlah tangan Tuhan bekerja.

“Saya menangis. Memohon ampun. Saya merasa sangat malu atas uluran tangan-Nya yang begitu murah hati. Tuhan masih mau menolong seorang Ciputra yang tak luput dari kesalahan,” tukasnya.

Sejak saat itu, hidupnya mengalami transformasi mendalam. Ciputra tak hanya bangkit sebagai pebisnis, tetapi juga sebagai manusia yang lebih bijaksana, penuh syukur, dan berserah.

“Hidup saya untuk Tuhan. Sejak saya terbangun hingga mata saya terlelap di malam hari, napas saya untuk mensyukuri karunia Tuhan,” ujarnya.

Setiap pagi, Ciputra meluangkan waktu untuk berjalan ke taman di belakang rumahnya. Ia duduk di tengah padang rumput, menengadah ke langit, dan berdoa dalam diam. Sebuah kebiasaan sederhana, namun sarat makna. Dalam ketenangan alam, ia menemukan kekuatan yang tak bisa diberikan oleh gemerlap dunia bisnis.

“Saya mengucapkan terima kasih atas keselamatan yang diberikan Tuhan pada diri saya, keluarga saya, dan orang-orang yang saya cintai,” jelasnya.

Baca Juga: Kisah Keteguhan Ciputra dalam Menghadapi Pusaran Krisis