Pelajaran Iman di Balik Derita dan Kesuksesan

Bagi banyak orang, Ciputra adalah simbol kesuksesan, seorang visioner, dan sosok pemimpin tangguh. Namun, di balik pencapaiannya, tersimpan kisah-kisah tentang penderitaan, pertobatan, dan perubahan diri yang menyentuh hati.

Salah satu titik balik terbesar dalam hidupnya terjadi pasca-krisis moneter 1998. Krisis tersebut bukan hanya mengguncang perusahaannya, tetapi juga mengguncang fondasi jiwanya. Dari kehancuran itulah, Ciputra justru menemukan makna baru dalam hidupnya.

“Orang-orang mengatakan, setelah krismon, Ciputra menjadi lebih penyabar. Itu benar,” tuturnya.

Refleksi atas kegagalan dan keselamatan yang dialaminya membawanya pada perenungan yang dalam. Ia melihat kembali potret dirinya di masa lalu, seorang pribadi yang keras, pemarah, dan tak jarang menggelegar dalam kemarahan.

“Saya melihat diri saya dalam tampilan yang menyedihkan. Saya pemarah dan galak, dengan suara menggelegar. Apa yang saya kejar? Toh di tahun 1998 saya dijatuhkan begitu telaknya,” tegasnya.

Pengalaman krisis membuatnya sadar bahwa semua yang ia kejar, yakni kekuasaan, harta, kejayaan, bisa hilang sekejap mata. Ia pun mulai melembutkan hatinya dan menata ulang relasinya dengan Tuhan.

“Saya bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan. Saya manusia lemah. Oleh sebab itu, saya merevisi sikap-sikap yang pasti tidak berkenan di mata Tuhan. Saya melakukan perubahan itu tanpa gengsi,” paparnya.

Bagi Ciputra, perubahan itu bukan sekadar transisi spiritual, tapi sebuah transformasi menyeluruh dalam hidup. Namun, ujian belum selesai.

Pada pertengahan dekade 2000-an, ia mengalami penderitaan fisik yang luar biasa. Nyeri hebat di bahunya membuat aktivitas sehari-hari menjadi sangat menyakitkan.

“Begitu sakitnya hingga untuk mengangkat lengan saja saya tak bisa. Mandi sulit. Berganti baju sulit. Tidur kesakitan. Hidup terasa sengsara,” ujarnya.

Berbulan-bulan ia bertahan dalam diam, mencoba berbagai pengobatan di Jakarta. Namun rasa sakit semakin tak tertahankan. Hingga akhirnya ia mendengar saran untuk menjalani operasi di Perth, Australia, oleh seorang dokter ahli bernama Dr. Peter Campbell.

“Semula saya keberatan dioperasi. Tapi akhirnya, karena sudah begitu putus asa dengan rasa sakit yang tak tertahankan itu, saya menyerah. Saya bersedia dioperasi,” ungkap Ciputra.

Dengan didampingi keluarga dan sahabat dekat sekaligus dokter ortopedi dari Singapura, Dr. Kevin Yip, Ir. Ciputra terbang ke Perth. Di sana, ia menanti hari operasi dengan harap-harap cemas, menginap di sebuah hotel, merenungi perjalanan hidup yang telah membentuknya.

“Karunia Tuhan terus diberikan dalam hidup saya,” ucapnya penuh syukur.

Baca Juga: Pergulatan Ciputra Melawan Krismon