Putra mahkota keluarga pemilik Grup Djarum dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Armand Wahyudi Hartono membagikan kisah kakeknya Oei Wie Gwan yang sempat belajar beberapa bahasa asing ketika ditahan di penjara Jepang.
Kisah ini dimulai pada 1942 saat tentara Nipon mulai menginvasi Indonesia yang dimulai Tarakan, Kalimantan Timur hingga merangsek masuk dan menguasai kota-kota lain di Indonesia seperti Balikpapan, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Ambon, Palembang ,Teluk Banten, Eretan Wetan, dan Kragen.
Baca Juga: Soal Larangan Kaesang Maju Pilkada 2024, Begini Respons Jokowi
Di tahun pertama kedatangan Jepang ke Indonesia yang sebelumnya dijajah Belanda, mereka menangkap dan mengintrogasi orang-orang Indonesia yang dicurigai sebagai antek dan kaki tangan Belanda, Oei Wie Gwan salah satunya.
Ia ditangkap, diinterogasi lalu ditahan, tentara Jepang mencurigainya sebagai mata-mata, sebab dalam laporan perdagangan Belanda, Oei Wie Gwan tercatat sebagai salah satu mitra dagang mereka.
“Kakek saya ditangkap, masukin penjara,” kata Armand Wahyudi dalam sebuah kesempatan dikutip Olenka.id Selasa (11/6/2024).
Tak hanya dijebloskan ke penjara, harta kekayaan Oei Wie Gwan yang dengan susah payah dikumpulkan di masa-masa sebelum masuknya tentara Nipon ikut dirampas, ia disiksa dengan kejam sebelum akhirnya benar-benar mendekam di rumah pesakitan.
“Kamu mata-mata Belanda. Mana kekayaan kamu?!” kisah Armand yang berusaha menirukan pernyataan tentara Nipon.
Namun bukan Oei Wie Gwan namanya kalau tidak bisa memanfaatkan peluang, ketimbang merenung atau meratapi nasib dari balik terali besi, ia justru memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar hal lain di sela-sela aktivitas para tawanan.
Baca Juga: Gerindra Pastikan Prabowo Setuju Kebijakan Izin Pengelolaan Tambang buat Ormas Keagamaan
Hal pertama yang ia pelajari adalah bahasa Inggris, ia belajar dari seorang pilot yang ditahan bersamanya.
Di era itu bahasa Inggris memang belum secara resmi ditetapkan sebagai bahasa internasional, namun kebanyakan negara di dunia telah menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari untuk berdagang, ini terjadi karena Inggris juga menginvasi banyak negara, bahkan negara-negara koloninya tersebar di berbagai benua.
Oei Wie Gwan tentu tak mau melewatkan begitu saja pertemuannya dengan pilot Inggris di penjara Jepang. Ia sadar betul pengetahuan bahasa Inggris penting untuk menunjang masa depan bisnisnya.
Baca Juga: PDI Perjuangan-PKB Jajaki Koalisi Usung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta
“Tapi tenang saja ya, lagi di penjara, sebelah sini pilot Inggris. Daripada nganggur, (mendingan) belajar bahasa Inggris. Selanjutnya dia nanti udah keluar penjara, bisa bahasa Inggris, jalan-jalan ke Eropa. Cari ide bisnis. Jadi bisa belajar dimana aja,” kata Armand.
Keberuntungan lainnya yang juga menghampiri Oei Wie Gwan di tengah keterbatasan kehidupan penjara adalah pertemuannya dengan sipir penjara yang merupakan orang Taiwan yang ditugaskan mengawasi penjara tempat Oei Wie Gwan di tawan yang sebelumnya dijaga tentara Jepang.
Di era itu Taiwan merupakan bagian dari kekaisaran Jepang, negara ini merupakan tempat pertama yang menjadi negara koloni Jepang, jadi wajar, orang-orang Taiwan dipekerjakan sebagai sipir penjara atau bahkan menjadi prajurit tempur.
“Tiba-tiba penjaganya di ganti dari orang Jepang, di ganti orang Taiwan. Karena dia kurang orang, Jepangnya outsourcing ke orang Taiwan,” jelas Armand.
Tak perlu waktu waktu lama, perkenalan Oei Wie Gwan dengan sipir asal Taiwan membawa mereka pada sebuah hubungan yang cukup karib. Kehidupan Oei Wie Gwan di dalam penjara Jepang perlahan berubah, hal ini dilatarbelakangi oleh kesamaan bahasa.
Sipir Taiwan saat itu memakai bahasa Hokkien, sementara Oei Wie Gwan yang berbahasa Indonesia sedikit banyak mengerti bahasa Hokkien kendati kurang fasih.
Baca Juga: Rencana Prabowo Kirim Pasukan Perdamaian ke Palestina Direstui Jokowi
Dari sini Oei Wie Gwan kembali memperdalam ketangkasan berbahasa Hokkien. Dari titik ini pula bos rokok terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara, PT Djarum itu menemukan titik balik di pengasingan. Ia kemudian dibebaskan atas kemurahan hati Sipir Taiwan itu.
“Orang Taiwan bisa bahasa Hokkien. Kakek saya masih bisa dikit-dikit. Bahasa Dewa nih, ajak ngomong. Gua kan berdagang sama siapa aja. Sama orang Taiwan (kakek saya) dilepas (dibebebaskan),” kenang Armand.