Belajar Menjadi Pemimpin dan Suami
Perjalanan Ciputra mewujudkan mimpinya di Ancol bukan hanya menempanya sebagai seorang pengusaha besar, tetapi juga mengajarkannya tentang kepemimpinan dan keluarga.
“Perjuangan saya mewujudkan mimpi di Ancol makin menempa saya dalam pembelajaran sebagai pemimpin. Berbagai persoalan mendewasakan saya,” ujarnya,
Di tengah kesibukan luar biasa, Ciputra merasa bersyukur karena memiliki keluarga yang selalu mendukung dan mendoakannya.
“Sangat saya syukuri bahwa sepanjang saya bekerja keras dari pagi hingga malam, keluarga saya dengan tenang mendoakan dan mendukung,” tukasnya.
Di rumah Jalan Talang, Pegangsaan, sang istri, Dee, mengurus keempat anak mereka dengan penuh ketenangan. Ibunya pun merasa tenteram tinggal bersama mereka. Tak lama, Ciputra berhasil membangun dua rumah modern di bilangan Slipi, satu untuk dirinya dan satu untuk rekan kerjanya, RAB Massie.
“Lega hati saya bisa membuatkan rumah bagi Dee dan anak-anak. Rumah kami sendiri. Tidak mengontrak dan bukan rumah dinas,” terangnya.
Namun, di balik semua keberhasilan itu, Ciputra mengakui bahwa masa-masa tersebut tidaklah mudah bagi Dee, istrinya. Kesibukan kerja dan tekanan proyek sering membuatnya menjadi suami dan ayah yang keras di rumah.
“Harus saya akui itu. Kesibukan saya yang luar biasa dan emosi saya karena terpengaruh berbagai persoalan kerja sering membuat saya menjadi laki-laki yang tidak menyenangkan di rumah,” bebernya.
Ia sadar, ia sering bersikap galak kepada anak-anaknya. Fokusnya terlalu banyak tersedot ke proyek, menjadikannya suami yang menurutnya egois. Namun, Dee tetap menjadi sosok luar biasa yang meneduhkan keluarga.
“Tapi Dee adalah perempuan yang luar biasa. Ia bersikap wajar saja dan sangat manis. Ia menyediakan makanan enak untuk saya dan menghadirkan senyumnya yang tak pernah berubah,” paparnya.
Bagi anak-anaknya yang takut pada ayah mereka yang keras, Dee adalah pelindung dan peneduh jiwa. Sementara bagi Ciputra sendiri, Dee adalah sandaran dalam diam, di balik perjuangannya membangun proyek-proyek besar tanpa mau gagal.
“Ia adalah peneduh jiwa bagi anak-anak yang mungkin takut melihat ayah mereka yang galak. Ayah yang tak mau gagal dalam proyek-proyeknya,” tukasnya.
Penyesalan dan Cinta Ciputra untuk Keluarga
Ketika menatap ke belakang, Ciputra tak hanya melihat deretan proyek besar dan keberhasilan yang menempatkannya sebagai salah satu tokoh properti terbesar di Indonesia. Ia juga melihat satu hal yang paling berarti dalam hidupnya, yakni keluarga.
“Pada hari ini jika saya mengingat itu, senyum saya mengembang. Bercampur sedih juga. Betapa sebetulnya ada jiwa-jiwa berjasa di balik keberhasilan saya membangun ini dan itu. Tak lain adalah kesabaran Dee dan ketabahan anak-anak,” papar Ciputra.
Kesibukannya membangun berbagai proyek legendaris memang menyita hampir seluruh waktunya. Dan ketika ia menoleh pada masa itu, ada satu penyesalan yang muncul.
“Jika saya bisa kembali ke masa itu, saya ingin merevisi sikap saya. Ingin saya peluk anak-anak berlama-lama dan mengatakan kepada mereka bahwa sebetulnya saya sangat mencintai mereka,” aku Ciputra.
Baginya, semua kerja keras itu memiliki satu tujuan mulia, yakni memastikan anak-anaknya tidak mengalami kesengsaraan seperti yang ia rasakan saat kecil. Ia ingin mereka tumbuh dalam kehidupan yang layak dan penuh martabat.
“Bahwa saya bekerja membanting tulang karena dorongan cita-cita yang besar, demi kebaikan mereka juga. Saya tak ingin anak-anak sengsara seperti saya di masa kecil,” ungkapnya.
Ciputra menyadari, di balik setiap kesuksesan yang diraihnya, ada nama-nama yang tidak boleh dilupakan. Mereka bukan hanya keluarganya, tetapi juga pilar kekuatan hidupnya.
“Jadi, jika menyebut proyek-proyek legendaris yang saya buat, saya juga harus menyebut nama Dee, Rina, Junita, Candra, dan Cakra. Merekalah orang-orang berjasa di balik sepak terjang saya,” tandasnya.
Baca Juga: Pelajaran Hidup Ciputra dari Proyek Senen: Kesuksesan Besar yang yang Menorehkan Luka Batin