Pengusaha sukses Indonesia, Ciputra punya kenangan tak mengenakan yang tak ia lupakan sampai sekarang. Kenangan pahit itu kini tersimpan rapi dalam ingatannya, peristiwa yang menimpa keluarganya saat ia berumur 12 tahun sama sekali tak ia lupakan barang sedetik saja. Kejadian itu sungguh membekas.
Itu adalah peristiwa penculikan ayahnya yang dilakukan oleh tentara Jepang yang waktu itu menjajah Indonesia. Ciputra melihat sendiri kejadian itu. Ia menyaksikan bagaimana ayahnya ditarik paksa masuk ke dalam perahu yang membawanya pergi dan bagaimana ibundanya yang histeris menyaksikan kejadian tersebut.
Baca Juga: Sosok Ciputra dalam Pandangan Dato Sri Tahir
Ia juga melihat sendiri bagaimana tentara penjajah memperlakukan ibundanya saat mati-matian membela suaminya yang dibawa paksa tentara Nipon, sang ibu didorong hingga roboh, teriakan histeris darinya dibalas kata-kata kasar dari tentara penjajah, satu persatu kejadian itu, kini masih terarsip rapi di benak Ciputra.
“Saya tak pernah bisa melupakan peristiwa itu. Setiap detiknya ter gambar sangat jelas di benak saya. Terbawa hingga puluhan tahun. Bahkan kehidupan yang begitu riuh tidak pernah bisa menghapus peristiwa yang menyakitkan itu,” kata Ciputra dilansir Olenka.id Selasa (27/5/2024).
Peristiwa penangkapan pada sebuah petang di pertengahan tahun 1943, itu sekaligus menjadi hari terakhir Ciputra melihat ayahnya. Peristiwa itu merusak kedamaian keluarga kecilnya yang sudah bertahun-tahun hidup sederhana dan bahagia di pinggir Pantai Bumbulan, Gorontalo.
Sejak peristiwa penculikan itu, ayahnya tak pernah kembali ke rumah, itu adalah hari terakhir Ciputra melihat laki-laki panutannya ini, itu menjadi luka di hati Ciputra dan ibundanya yang tak kunjung sembuh hingga kini.
Kejadian ini pula secara tak langsung memaksa Ciputra menjadi lebih dewasa dari usianya. Anak yang baru berusia 12 tahun itu tumbuh menjadi lebih kuat, di kemudian hari ia yang menggantikan peran sang ayah
“Papa diseret beberapa penjajah, polisi penjajah. Lengannya ditekuk ke belakang dan beberapa Kempeitai mendorongnya dengan kasar menuju perahu. Suara teriakan Kempeitai bercampur dengan tatangisan Mama. Perempuan yang melahirkan saya itu berlari memburudan menarik kemeja Papa dengan kuat sambil menangis melolong. Saya terkesima. Terpaku. Syok dengan apa yang saya lihat. Kenapa ini terjadi pada kami? Tak ada kesalahan apa pun yang dilakukan Papa. Seorang polisi penjajah berteriak kasar pada Mama dan bersiap memukul,” kata Ciputra mengenang peristiwa menyakitkan itu.
Wafat di Penjara
Setelah penangkapan pada sore itu, ayah Ciputra dibawa dan ditahan di penjara yang berada di Manado, namun dalam perjalan menuju tempat pesakitan itu dia mencoba mengakhiri hidupnya dengan melompat ke laut. Akal sehatnya tidak bisa menerima penangkapan tanpa alasan itu, ia juga tak sudi disiksa dengan kejam di penjara Jepang sekalipun ia tak bersalah,
Namun upaya itu gagal, hal ini pula menjadi titik balik sang ayah, dari percobaan bunuh diri yang gagal itu, Ciputra menjadi orang yang percaya akan keberadaan Tuhan. ia kemudian kembali ditangkap polisi Jepang dan benar-benar dijebloskan ke penjara tanpa mengetahui apa kesalahannya.
Di sisi lain, Ciputra dah ibundanya sabar menunggu kepulangan sang ayah, berbulan-lamanya mereka menunggu, namun yang datang justru kabar duka yang menambah luka di hati mereka.
Baca Juga: Menguak Fakta di Balik Pernyataan Polri Terkait Keaslian Ijazah Jokowi
“Kami hidup di dalam pertanyaan yang tidak bisa kami jawab. Kerinduan kami pada Papa menjadi luka yang terus membesar. Sembilan bulan kemudian seorang laki-laki Bumbulan bernama Hok Sioe yang ditawan bersama Papa dan baru terbebas dari penjara di Manado mengunjungi kami dan mengungkap kisah tentang Papa. Papa telah wafat dua bulan sebelumnya. Ia menderita penyakit perut yang hebat,” kenang Ciputra.