Pemerintah Indonesia diminta memaksimalkan industrialisasi dalam negeri guna meningkatkan dan menjaga kualitas pertumbuhan ekonomi Tanah Air. Apalagi, Presiden Indonesia terpilih selanjutnya, Prabowo Subianto, menargetkan pertumbuhan ekonomi di angka 8%. Menurut ekonom, mustahil ekonomi Indonesia mampu tumbuh 8% tanpa industrialisasi.

Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina, mengingat, sepanjang sejarah, Indonesia hanya 5 kali mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 8% yang disokong oleh minyak. Untuk mengejar pertumbuhan 8%, ada masalah lain yang harus diperhatikan, mulai dari lingkungan, ketimpangan, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Mengulik Target Ambisius Prabowo Bawa Ekonomi Indonesia Tumbuh 8%, Mungkinkah?

"Allah menciptakan alam untuk manusia dan menikmati sumber dayanya, tetapi kreativitas manusia membuka jalan guna menikmati sumber daya alam tersebut lewat proses pengolahan. Oleh karena itu, ada industri manufaktur yang mengubah bahan mentah jadi bahan jadi. Proses manufaktur inilah yang dikenal dengan proses industrialisasi," terangnya, dikutip Selasa (24/9/2024).

Akan tetapi, proses industri tersebut tidak cukup untuk menyalurkannya pada konsumen sehingga ada industri jasa yang dibutuhkah. Wijayanto melihat, permasalahan di Indonesia adalah kecilnya industri manufaktur sehingga yang lebih digenjot adalah sumber daya alam, infrastruktur, transportasi, pelabuhan, kota baru, dan sebagainya.

"Permasalahan lainnya muncul, ketika manufaktur tidak memproduksi barang, industri jasa ini menggunakan barang-barang impor," jelasnya.

Penguatan Investasi

Perkembangan industri manufaktur Indonesia menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Saat ini, GDP Indonesia menyentuh angka 18,7%. Padahal, GDP Indonesia bisa menyentuh rata-rata di angka 25% pada zaman Orde Baru. Dengan kondisi tersebut, Indonesia butuh investasi yang cukup tinggi karena pengembangan industri manufaktur membutuhkan modal yang beras.

"Sayangnya, ICOR (Incremental Capital Output Ratio atau rasio yang menunjukkan besarnya tambahan modal atau investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan output, red) Indonesia cenderung bertumbuh di tingkat 6,5 pada 2023 lalu. Jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ICOR harus ditekan," kata Wijayanto.

Dia menjelaskan, tingginya ICOR disebabkan oleh investasi yang tidak efisien, perekonomian dengan biaya tinggi, korupsi, ketidakpastian regulasi, markup, perencanaan yang buruk, dan lain sebagainya.

"Mendongkrak investasi satu hal, tetapi menekan ICOR tidak kalah pentingnya. Jika ingin menaikkan GDP tumbuh hingga 8% dengan ICOR 6,5, diperlukan investasi sebesar Rp12.480 triliun, atau setara dengan 52% GDP adalah investasi. Saat ini angkanya adalah 30%, maka hampir dikatakan mustahil dalam jangka pendek," tegasnya.