Jelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO) menggelar “Seminar Nasional Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi”, yang bertempat di Hotel Millenium Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan selama 10 tahun terakhir. Ini merujuk pada dua periode pemerintahan Presiden Jokowi.

“Seperti kita lihat, pertumbuhan ekonomi 5 persen, nyatanya tidak bisa mendorong Indonesia keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah atau middle income trap,” tutur Esther .

Esther juga menilai, kebijakan pemerintahan Jokowi belum efektif, misalnya mengenai kemiskinan dan lapangan kerja. Dia mencatat, dalam 10 tahun terakhir, tingkat kemiskinan hanya turun 2 persen.

"Kalau kita lihat lagi kita tahu bahwa tingkat kemiskinan itu hanya turun 2 persen dalam kurun 10 tahun," kata Esther.

Terkait kemiskinan ini, Esther menilai, kebijakan bansos yang dikucurkan belum efektif menekan angka kemiskinan di Indonesia.

"Artinya, kebijakan pengentasan kemiskinan itu belum efektif ya, seperti halnya pemberian bansos beratus-ratus miliar itu sebenarnya bukan solusi," tukasnya.

Di sisi lain, Esther menyoroti soal adanya kesenjangan (gap) di sektor ketenagakerjaan. Imbasnya, menurutnya, investasi yang masuk ke Indonesia belum mampu menyerap tenaga kerja. Menurutnya juga, modal dan kekayaan masih terkonsentrasi pada beberapa kelompok orang saja, dan investasi yang ada tidak mendorong penciptaan lapangan pekerjaan.

"Di sisi lain karena sekarang kondisi sekarang ketenagakerjaan itu mengalami skill gap, maka investasi tidak ramah terhadap penciptaan lapangan pekerjaan. Semua itu menimbulkan kekawatiran, dan tidak bisa dibiarkan berlangsung begitu saja. Indonesia harus keluar dari middle income trap,” kata Esther.

Baca Juga: Dana Bansos Terus Naik, INDEF: Kok Angka Kemiskinannya Tidak Turun Signifikan?

Hal lainnya yang juga disoroti oleh Esther, adalah bagaimana iklim demokrasi yang kian lama kian tergerus dan praktik KKN yang semakin terang benderang.

“Status indonesia saat ini slow demokrasi. Sehingga, diharapkan dengan adanya diskusi hari ini, bukan hanya akan bisa menjadi evaluasi dan catatan penting, tapi juga diharapkan bisa menjadi dasar kebijakan bagi pemerintahan mendatang,” lanjutnya.

Di kesempatan yang same, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Prof. Didin S Damanhuri, mengatakan, pertumbuhan ekonomi di masa 2 periode pemerintahan Jokowi terbilang paling rendah ketimbang era SBY bahkan Soeharto.

"Saya bisa simpulkan, era Pak Jokowi ini adalah era pertumbuhan ekonomi yang paling rendah, dibanding Pak SBY (5,7 persen). Apalagi dibanding zaman Soeharto (7 persen)," tukas Prof. Didin.

Di era Jokowi, kata Prof. Didin, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen. Memang cukup unggul ketimbang negara lain, termasuk saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Saat itu, ekonomi Indonesia terkontraksi ke level minus 2 persen. Negara lain lebih parah, bahkan ada yang minus 15 persen.

"Tetapi kita mempunyai tenaga kerja yang begitu banyak, maka pertumbuhan ekonomi yang 5 persen itu menjadi tidak cukup. Nah pertumbuhan ekonomi yang baik tapi tidak baik dari era sebelumnya, ini punya konsekuensi," tandasnya.

Prof. Didin pun menyinggung dan mengkritik soal orientasi GDP, yang mana Jokowi membangun infrastruktur secara besar-besaran. Namun hhal ini tidak terkait kepada pemecahan kesempatan kerja maupun peningkatan kesejahteraan, dan sistem politiknya pun sangat tidak mendukung, sangat high cost.

"Dampak GDP oriented, kesenjangan antar golongan pendapatan, kesenjangan antar wilayah, serta kesenjangan antar sektor," jelasnya.

Baca Juga: Jalan Terjal Pemerintahan Prabowo Wujudkan Pertumbuhan Ekonomi 8%