Meski saat itu ia hanya bekerja sebagai pegawai biasa, William merasa Jakarta telah membuka matanya bahwa ada ketimpangan yang antara pusat dan daerah.Menurutnya, banyak teman-temannya di Pematang Siantar yang lebih pintar, namun mereka tak punya kesempatan ke Jakarta.

“Ketika saya kerja kantoran, saya melihat teman-teman saya di Siantar yang lebih pintar-pintar, mereka ternyata karena tidak punya kesempatan ke Jakarta. Kesempatan mereka untuk berkembang jauh lebih terbatas. Jadi, di sanalah saya melihat ketimpangan terhadap kesempatan,” beber William.

Ia pun lantas menceritakan contoh ketimpangan lainnya yang ia rasakan. Dimana, saat masih di kampung halamannya, William yang suka membaca, sangat kesulitan bisa menemukan toko buku dengan mudah, sesuatu yang berbeda yang ia temukan ketika berada di kota besar seperti Medan maupun Jakarta.

“Atau, misalnyakarena saya seorang yang senang baca buku, tapi di Siantar tidak ada Gramedia. Jadi waktu saya kecil, saya senang sekali kalau ke kota Medan meski 3 jam perjalanan, karena di sana ada toko buku yang besar,” paparnya.

Hal itulah yang kemudian memantik hasrat bisnisnya untuk membangun e-commerce, karena mengingat pengalamannya di Pematang Siantar, di mana masyarakat harus membeli barang lebih mahal daripada di Jakarta.

“Dan, saya menyadari harga-harga buku kalau sampai ke Siantar itu harganya jadi jauh lebih mahal dibandingkan kota Medan. Kota Medan lebih mahal dibandingkan Jakarta,” ujarnya.

Atas dasar ketimpangan itu juga, William pun bertekad membangun Tokopedia, yang mana platform tersebut menghubungkan penjual dan pembeli dari seluruh nusantara, guna mengatasi masalah ketimpangan peluang dan kepercayaan.

“Jadi ketimpangan itu dari keseharian, dari lingkungan, dari teman-teman saya menyadari masalah tersebut,” pungkasnya.

Baca Juga: Mengenal Pendiri Tokopedia William Tanuwijaya yang Sempat Jadi Penjaga Warnet