Beberapa dari kita pasti sering menggunakan aplikasi belanja online yang bernama Tokopedia. Ya, e-commerce yang identik dengan warna hijau ini pastinya sudah tidak asing di kalangan masyarakat Indonesia. Dan siapa sangka, sosok pendiri dari Tokopedia adalah seorang ‘anak perantauan’ yang bernama William Tanuwijaya.

Sebelum meraih kesuksesan seperti sekarang, William mengaku bahwa ia bukan berasal dari keluarga yang kaya raya dan terpandang, bahkan justru sebaliknya. Dalam membangun bisnisnya, ia hanya bermodalkan restu dari kedua orang tuanya dan semangat yang tinggi

Pria kelahiran Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara pada 11 November 1981 itu pun mengaku, diharuskan merantau ke Jakarta untuk memulai fase kehidupan baru.

Tepat pada 1999, William berangkat seorang diri dengan menumpang kapal laut dari Pelabuhan Belawan. Selama 4 hari 3 malam, dia menghadapi derasnya ombak Selat Malaka hingga akhirnya sampai di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

“Saya lahir dan besar di kota Pematang Siantar, pertama kalinya merantau ke Jakarta pakai kapal laut 4 hari 3 malam untuk kuliah,” tutur William, dalam sebuah video di kanal Entrepreneurs Wanted!, dikutip Olenka, Kamis (16/1/2025).

Di Jakarta, William berkuliah Teknik Informatika di Universitas Bina Nusantara (Binus). Tahun pertama kuliahnya berjalan lancar. Namun, memasuki tahun kedua keluarganya ditimpa musibah. Sang ayah jatuh sakit dan divonis mengidap kanker, sehingga tidak lagi mampu mendanai kuliah William.

“Tahun pertama Julian saya berjalan lancar, namun di tahun kedua saya kuliah, almarhum ayah saya saat itu mulai jatuh sakit, sementara ibu saya hanya IRT,” ujar William.

Karena kondisi keuangan keluarganya yang terbatas, William pun mau tak mau harus memutar otak. Terlebih sebagai anak laki-laki dalam keluarga, William tidak punya pilihan lain selain menggantikan posisi ayahnya sebagai tulang punggung keluarga.

Dan, satu-satunya cara yang bisa ia tempuh kala itu adalah bekerja. Akhirnya, William pun memutuskan untuk mengambil pekerjaan sambilan menjadi penjaga warnet.

“Karena di sekitar kampus banyak warnet, saya melamar menjadi penjaga warnet untuk jam malam. Istilahnya jam kalong, yang mana dimulai dari jam 9 malam hingga jam 9 pagi selama 3 tahun, itu saya jalan sepanjang sisa kuliah saya,” kata William.

Selama menjadi penjaga warnet itulah, William setali tiga uang, dia dapat penghasilan untuk membayar kuliahnya, sekaligus juga punya kesempatan belajar lebih luas yang tentunya secara gratis.

Pekerjaan ini dilakoni hingga lulus kuliah pada 2003.Setelah lulus, William pun akhirnya bekerja sebagai software engineer di perusahaan lokal.

“Jadi sebenarnya, saya selalu menganggap saya ini lulusan warnet,” tukas William seraya tertawa.

Baca Juga: Kisah William Tanuwijaya Bertahan Demi Orang Tua dan Anak Agar Memiliki Hidup Lebih Baik

Meski saat itu ia hanya bekerja sebagai pegawai biasa, William merasa Jakarta telah membuka matanya bahwa ada ketimpangan yang antara pusat dan daerah.Menurutnya, banyak teman-temannya di Pematang Siantar yang lebih pintar, namun mereka tak punya kesempatan ke Jakarta.

“Ketika saya kerja kantoran, saya melihat teman-teman saya di Siantar yang lebih pintar-pintar, mereka ternyata karena tidak punya kesempatan ke Jakarta. Kesempatan mereka untuk berkembang jauh lebih terbatas. Jadi, di sanalah saya melihat ketimpangan terhadap kesempatan,” beber William.

Ia pun lantas menceritakan contoh ketimpangan lainnya yang ia rasakan. Dimana, saat masih di kampung halamannya, William yang suka membaca, sangat kesulitan bisa menemukan toko buku dengan mudah, sesuatu yang berbeda yang ia temukan ketika berada di kota besar seperti Medan maupun Jakarta.

“Atau, misalnyakarena saya seorang yang senang baca buku, tapi di Siantar tidak ada Gramedia. Jadi waktu saya kecil, saya senang sekali kalau ke kota Medan meski 3 jam perjalanan, karena di sana ada toko buku yang besar,” paparnya.

Hal itulah yang kemudian memantik hasrat bisnisnya untuk membangun e-commerce, karena mengingat pengalamannya di Pematang Siantar, di mana masyarakat harus membeli barang lebih mahal daripada di Jakarta.

“Dan, saya menyadari harga-harga buku kalau sampai ke Siantar itu harganya jadi jauh lebih mahal dibandingkan kota Medan. Kota Medan lebih mahal dibandingkan Jakarta,” ujarnya.

Atas dasar ketimpangan itu juga, William pun bertekad membangun Tokopedia, yang mana platform tersebut menghubungkan penjual dan pembeli dari seluruh nusantara, guna mengatasi masalah ketimpangan peluang dan kepercayaan.

“Jadi ketimpangan itu dari keseharian, dari lingkungan, dari teman-teman saya menyadari masalah tersebut,” pungkasnya.

Baca Juga: Mengenal Pendiri Tokopedia William Tanuwijaya yang Sempat Jadi Penjaga Warnet