Perjalanan bisnis tidak selalu mulus. Bagi Okta Wirawan, CEO dan Founder Abuya Group, hampir 25 tahun berkecimpung di sektor kuliner adalah kisah jatuh bangun yang panjang, penuh pelajaran dan keputusan besar.

Semua bermula ketika ia masih mahasiswa di Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Kala itu, Okta memberanikan diri membuka bisnis franchise Soerabi Bandung Enhaii di Bogor. Gerai pertama dibuka di samping SMA 7, memanfaatkan keramaian siswa. Namun, ternyata strategi itu tidak tepat sasaran.

Baca Juga: Kisah Ahmad Adi Sudrajat Membangun Makaroni SOS dari Nol hingga Jadi Primadona Camilan Lokal

"Marketnya ada di siang hari, sementara serabi ini makanan malam," kenangnya secara eksklusif kepada Olenka beberapa waktu lalu.

Okta membangun usaha dari nol, bahkan sampai menyulap lahan kosong menjadi ruko tiga lantai. Sayangnya, bisnis itu tak bertahan lama.

"Akhirnya bangkrut. Sampai suatu titik saya nggak bisa bayar gaji karyawan. Semua aset sudah terjual. Masih kuliah waktu itu," ujarnya.

Baca Juga: Kisah Ferdi Bangun Bisnis Alas Foto Ekspor dari Nol: Jangan Tunggu Sempurna untuk Memulai!

Setelah lulus, keterbatasan modal membuatnya terpaksa mundur sejenak dari dunia wirausaha dan memilih bekerja sebagai profesional. Ia menghabiskan 10 tahun di Carrefour dan 5 tahun di anak perusahaan Trakindo, di mana ia terlibat dalam pengelolaan ritel dan F&B internasional seperti Wingstop dan Carl’s Jr. Pengalaman inilah yang kelak menjadi bekal berharga saat ia kembali membangun bisnis.

Pada 2017, Okta memulai kembali mimpinya dengan mendirikan Abuya Group. Brand pertama yang ia bangun adalah Kedai Abuya. Setelahnya, satu per satu merek kuliner lahir, yakni Ayam Asap Abu Dhabi, Bakmi Madina, Halo Bakery, Minum, Ayam Geprek Blasteran, hingga Kebuli Abuya yang menjadi titik balik perkembangan grup usaha tersebut.

Kesuksesan Kebuli Abuya membuka jalan bagi peluncuran merek terbaru, Almaz Fried Chicken, yang kini menjadi fokus utama.

Baca Juga: Kerajaan Bisnis Rajawali Group, dari Tulang Punggung Keluarga hingga Sukses Besar Peter Sondakh

"Kami melihat bahwa dengan investasi yang sama, Almaz Fried Chicken mampu menghasilkan omzet lebih tinggi daripada, misalnya, Halo Bakery," jelasnya.

Namun, tidak semua brand berhasil. Ia dengan jujur mengakui bahwa beberapa usaha harus ditutup, baik karena tidak menguntungkan maupun tidak scalable. Contohnya, Ayam Asap Abu Dhabi, meski produknya kuat dan laris, menghadapi tantangan operasional.

"Masaknya butuh 8 jam per ayam, dan Central Kitchen sudah berantakan padahal baru lima cabang. Gimana mau seribu cabang?" ujarnya.

Baca Juga: Berkenalan dengan Evalinda Amir, Perempuan Hebat di Balik Suksesnya Bisnis Ayam Goreng D’Besto

"Sebenarnya bisnisnya bagus. Tapi, kita anggap dengan investasi yang sama, sama-sama misalnya Rp1 miliar, dia tidak bisa memproduksi omset yang lebih baik daripada Fried Chicken-nya Almaz. Ya udah, mendingan kita fokuskan ke Almas," tutupnya.