Empat kali sudah perekonomian Indonesia mengalami deflasi berturut-turut belakangan ini. Jika ditarik mundur ke belakang, sejak bulan Mei 2024 lalu, fenomena deflasi mulai menghantui.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia mengalami deflasi 0,03 persen pada Agustus 2024 jika dibanding dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Kondisi perekonomian pun terpantau fluktuatif. Terkadang, harga mengalami kenaikan dan penurunan.
Mengutip dari laman DJPB pada Selasa (03/09/2024), deflasi merupakan fenomena penurunan harga yang ada di dalam suatu wilayah. Deflasi terjadi karena kekurangan jumlah uang beredar yang menyebabkan daya beli masyarakat menjadi turun.
Lantas, dari pengertian tersebut, seperti apa kondisi deflasi yang tengah dialami Indonesia empat bulan berturut-turut? Apa penyebab sebenarnya? Simak penjelasannya berikut ini:
Penyebab Deflasi Berturut-turut
BPS menduga deflasi yang terjadi selama empat bulan terakhir atau sejak Mei hingga Agustus 2024, akibat konsumsi nonmakanan masyarakat yang turut melandai atau indikasi masyarakat menahan belanja.
Baca Juga: Kondisi Ekonomi Indonesia 10 Tahun Terakhir di Bawah Kepemimpinan Jokowi
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menyampaikan, konsumsi yang tertahan tersebut berdampak pada turunnya permintaan nonmakanan.
"Untuk menjaga daya beli, khususnya untuk konsumsi makanan maka diduga rumah tangga akan menahan konsumsi nonmakanan, sehingga terlihat pada turunnya permintaan atau demand konsumsi nonmakanan," ungkap Pudji dalam konferensi pers, Senin (02/09/2024).
Ia menerangkan, fenomena deflasi dalam empat bulan terakhir ini lebih ditunjukkan dari sisi suplai atau penawaran. Panen beberapa komoditas pangan dan hortikultura, seperti bawang merah yang tengah masuk masa panen raya, dan juga turunnya biaya produksi berhasil mendorong deflasi komoditas telur ayam ras dan daging ayam ras.
Secara umum, pada Agustus 2024 terjadi deflasi sebesar 0,03% secara bulanan (MtM). Deflasi yang terjadi sejalan dengan penurunan IHK dari 106,09 pada Juli 2024 menjadi 106,06 pada Agustsus 2024.
Kelompok makanan minuman dan tembakau menjadi kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar pada Agustus 2024, yakni sebesar 0,52% dan dengan andil 0,15%.
Baca Juga: Dato Sri Tahir Bicara Soal Grand Plan Ekonomi Pemerintahan Jokowi
Sedangkan, pada 2024, komoditas bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayamlah yang menjadi ras penyumbang utama deflasi, dengan masing-masing sebesar 0,08%, 0,03%, 0,03%, dan 0,02% secara bulanan.
Menkeu Sri Mulyani Buka Suara
Menteri Keuangan Sri Mulyani buka suara soal fenomena yang terjadi. Ia menilai, dalam pengukuran inflasi inti atau core inflation, tidak terlihat ada daya beli yang turun terkait deflasi ini.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa deflasi terjadi karena adanya penurunan harga pangan yang memang menjadi perhatian pemerintah. Sejauh ini, pemerintah melakukan banyak upaya agar harga pangan bisa turun sehingga tidak memicu inflasi.
Baca Juga: Tito Karnavian: Jokowi Sosok Bapak Pengendali Inflasi
"Kalau deflasi berasal dari harga pangan, itu kan memang diupayakan oleh pemerintah untuk menurunkan, terutama kan waktu itu inflasi dari unsur harga pangan kan cukup tinggi terutama dari beras, kemudian El Nino," ujarnya saat ditemui di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (02/09/2024).
Sri Mulyani menjelaskan jika penurunan harga-harga alias deflasi karena harga pangan turun berarti itu tren yang positif. Namun, pemerintah tetap akan waspada pada pergerakan inflasi ke depan.
"Tetapi kita akan tetap waspada ya. Kalau kita lihat inflasi inti masih cukup bagus dan masih tumbuh. ya itu oke," jelasnya.
Dampak Terjadinya Deflasi
Masih dari sumber yang sama, fenomena deflasi disebutkan dapat memberi dampak yang positif atau negatif. Keduanya sama-sama memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia.
Apabila terjadi deflasi, dampak positif yang bisa dirasakan antara lain masyarakat sebagai konsumen dapat membeli barang dan jasa dengan harga murah. Kemudian, nilai mata uang rupiah menjadi lebih kuat. Dan, masyarakat berkehidupan lebih hemat serta muncul kesadaran menabung untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Kendati demikian, ada dampak negatif yang juga harus diwaspadai, di antaranya kerugian bagi pengusaha karena pendapatan yang menurun sehingga cicilan kredit di bank menjadi macet. Meningkatnya jumlah pengangguran akibat PHK karyawan.
Baca Juga: Menko Airlangga Yakinkan Investor Terkait Ketahanan Perekonomian Nasional
Selain itu, devisa atau pendapatan negara juga menurun karena tarikan pajak yang dikurangi akibat pendapatan masyarakat yang berkurang. Serta, perekonomian negara mengalami kemerosotan dan resesi, produksi barang menurun, dan penarikan modal dari para investor karena kegiatan jual beli yang lemah.
Indonesia Pernah Berada di Ujung Jurang Krisis
Selain deflasi empat bulan berturut-turut, BPS mencatat, Indonesia sering berada di ujung jurang krisis. Setidaknya, ada tiga waktu krusial yang membuat Indonesia berada di fase gelap perekonomian, yakni dimulai dari masa krisis moneter (krismon) 1998, krisis ekonomi global 2008, dan saat pandemi covid-19 menyerang.
Saat krisis moneter misalnya, Pudji Ismartini mengatakan, Indonesia pernah mengalami deflasi 7 bulan berturut-turut, mulai dari Maret 1999-September 1999. Ini imbas depresiasi nilai tukar dan penurunan harga sejumlah barang.
"Periode deflasi lainnya terjadi pada Desember 2008 dan Januari 2009. Selama krisis finansial global, kemudian deflasi karena penurunan harga minyak dunia, dan juga permintaan domestik yang melemah," terangnya.
Deflasi beruntun kembali terulang saat Indonesia mengalami covid-19 sehingga daya beli masyarakat turun. Pada 2020, terjadi deflasi tiga bulan berturut-turut sejak Juli 2020 sampai September 2020.
Pudji merinci ada 4 kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi kala itu. Ini mencakup kelompok makanan, minuman, dan tembakau; pakaian dan alas kaki; transportasi; serta informasi, komunikasi, dan jasa keuangan.
Baca Juga: Sri Mulyani: Indonesia Bisa Bertahan Menjaga Pertumbuhan Ekonomi Dalam 8 Kuartal Berturut-turut
Apa yang Harus Pemerintah Lakukan?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti bersuara bahwa pemerintah harus segera bertindak terhadap fenomena yang terjadi. Setidaknya, negara harus memberikan insentif bagi masyarakat kelas menengah.
"Ini agar (masyarakat) bisa lebih 'bernapas', misalnya dengan adanya penurunan tingkat suku bunga kredit, penundaan pembatasan penggunaan pertalite, dan lain-lain," saran Esther.
Selain itu, ada empat solusi lain yang ia beberkan, di antaranya pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan moneter. Dengan begitu, ia menilai Bank Indonesia bisa menambah jumlah uang yang beredar dalam masyarakat.
Kedua, mengutip dari CNN Indonesia, Esther meminta adanya politik diskonto. Ini harus diambil dengan menurunkan tingkat suku bunga bank sehingga masyarakat akan menarik tabungan mereka.
"Menurunnya tingkat suku bunga akan membuat investor menarik sejumlah dana dan memilih mencari laba melalui bisnis konvensional. Sehingga jumlah uang yang beredar dalam masyarakat akan bertambah," jelas Esther.
Ketiga, penerapan kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi disinflasi. Bentuknya berupa pengelolaan dan pembuatan strategi agar kondisi perekonomian menjadi lebih baik. Pemerintah Indonesia juga bisa mengatur dan memperbarui pendapatan serta pengeluaran negara saat ini. Esther menegaskan ini bisa menjadi langkah penting mengatasi penyakit deflasi. Dan yang terakhir adalah implementasi kebijakan nonmoneter.