Optimisme publik terhadap masa depan ekonomi Indonesia menguat di media sosial. Hal itu tercermin dari hasil analisis PT Social Cerdas Indonesia (Social Quotient) terhadap 1,73 juta percakapan warganet di platform X, Facebook, Instagram, dan TikTok sepanjang 1 September–30 November 2025.
Direktur Social Quotient, Manbir Chyle, memaparkan temuan tersebut dalam ajang Big Alpha Business Summit 2025 di Jakarta. Forum bisnis bertema Transformation dan Acceleration ini membahas strategi untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen.
Menurut Manbir, sentimen positif mendominasi percakapan daring, dengan warganet memandang Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi global, didukung kekayaan sumber daya alam, posisi geografis strategis, serta bonus demografi angkatan kerja muda. Lonjakan optimisme juga tercatat setelah kunjungan kerja Presiden Prabowo Subianto ke Kanada dan Brasil, yang dinilai membuka peluang kemitraan dan investasi baru di sektor energi serta agribisnis.
Baca Juga: Prabowo Mulai Geser Sistem Ekonomi Liberal Kapitalis ke Ekonomi Kerakyatan
Dorongan sentimen positif turut datang dari figur Menteri Keuangan Purbaya Yudhi, yang gaya komunikasinya dinilai lugas dan pro-rakyat. Kebijakan pengucuran dana sekitar Rp200 triliun ke perbankan BUMN untuk mendorong penyaluran kredit dan pertumbuhan ekonomi dipersepsikan warganet sebagai langkah realistis yang memperkuat fondasi domestik.
Tiga Tantangan Struktural
Di balik optimisme tersebut, Social Quotient mengidentifikasi tiga isu utama yang berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi jika tidak segera direspons.
Baca Juga: Meneropong Prospek Pertumbuhan Ekonomi Nasional 2026
Pertama, kerusakan lingkungan dan meningkatnya frekuensi bencana alam seperti banjir dan longsor di Sumatra. Warganet menilai model pembangunan yang tidak berkelanjutan berisiko mengorbankan kualitas lingkungan hidup dan memicu kritik terhadap arah kebijakan pembangunan.
Kedua, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah SPBU swasta sejak Agustus 2025. Selain mengganggu aktivitas harian masyarakat, persoalan ini dinilai menciptakan persepsi ketidakstabilan pasokan energi yang sensitif bagi iklim investasi.
Ketiga, isu ketenagakerjaan. Dominasi sektor informal dan UMKM yang rentan, ditambah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur dan teknologi, memunculkan kekhawatiran publik. Desakan reformasi upah minimum dan penciptaan lapangan kerja berkualitas semakin menguat di ruang digital.
Baca Juga: Proyeksi Ekonomi Indonesia Tumbuh Tipis di Tahun 2026
Sejumlah tokoh nasional turut mengisi Big Alpha Business Summit 2025, antara lain Agus Harimurti Yudhoyono, Sandiaga Salahuddin Uno, Shinta Widjaja Kamdani, serta diskusi Unfiltered Live bersama Pandu Sjahrir dan panel “Navigating Transformation and Acceleration”.
Peran Social Listening
Manbir menekankan, data percakapan warganet bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan aspirasi dan kegelisahan masyarakat. “Social listening menjadi fondasi penting agar kebijakan dan strategi bisnis dapat lebih empatik dan responsif,” ujarnya.
Melalui layanan analitik media sosial, pengelolaan percakapan digital, hingga customer care dan advokasi, Social Quotient berupaya membantu berbagai sektor—mulai dari bisnis hingga pemerintahan—merumuskan keputusan berbasis pemahaman opini publik secara lebih akurat.