Dampak Terjadinya Deflasi
Masih dari sumber yang sama, fenomena deflasi disebutkan dapat memberi dampak yang positif atau negatif. Keduanya sama-sama memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia.
Apabila terjadi deflasi, dampak positif yang bisa dirasakan antara lain masyarakat sebagai konsumen dapat membeli barang dan jasa dengan harga murah. Kemudian, nilai mata uang rupiah menjadi lebih kuat. Dan, masyarakat berkehidupan lebih hemat serta muncul kesadaran menabung untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Kendati demikian, ada dampak negatif yang juga harus diwaspadai, di antaranya kerugian bagi pengusaha karena pendapatan yang menurun sehingga cicilan kredit di bank menjadi macet. Meningkatnya jumlah pengangguran akibat PHK karyawan.
Baca Juga: Menko Airlangga Yakinkan Investor Terkait Ketahanan Perekonomian Nasional
Selain itu, devisa atau pendapatan negara juga menurun karena tarikan pajak yang dikurangi akibat pendapatan masyarakat yang berkurang. Serta, perekonomian negara mengalami kemerosotan dan resesi, produksi barang menurun, dan penarikan modal dari para investor karena kegiatan jual beli yang lemah.
Indonesia Pernah Berada di Ujung Jurang Krisis
Selain deflasi empat bulan berturut-turut, BPS mencatat, Indonesia sering berada di ujung jurang krisis. Setidaknya, ada tiga waktu krusial yang membuat Indonesia berada di fase gelap perekonomian, yakni dimulai dari masa krisis moneter (krismon) 1998, krisis ekonomi global 2008, dan saat pandemi covid-19 menyerang.
Saat krisis moneter misalnya, Pudji Ismartini mengatakan, Indonesia pernah mengalami deflasi 7 bulan berturut-turut, mulai dari Maret 1999-September 1999. Ini imbas depresiasi nilai tukar dan penurunan harga sejumlah barang.
"Periode deflasi lainnya terjadi pada Desember 2008 dan Januari 2009. Selama krisis finansial global, kemudian deflasi karena penurunan harga minyak dunia, dan juga permintaan domestik yang melemah," terangnya.
Deflasi beruntun kembali terulang saat Indonesia mengalami covid-19 sehingga daya beli masyarakat turun. Pada 2020, terjadi deflasi tiga bulan berturut-turut sejak Juli 2020 sampai September 2020.
Pudji merinci ada 4 kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi kala itu. Ini mencakup kelompok makanan, minuman, dan tembakau; pakaian dan alas kaki; transportasi; serta informasi, komunikasi, dan jasa keuangan.
Baca Juga: Sri Mulyani: Indonesia Bisa Bertahan Menjaga Pertumbuhan Ekonomi Dalam 8 Kuartal Berturut-turut
Apa yang Harus Pemerintah Lakukan?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti bersuara bahwa pemerintah harus segera bertindak terhadap fenomena yang terjadi. Setidaknya, negara harus memberikan insentif bagi masyarakat kelas menengah.
"Ini agar (masyarakat) bisa lebih 'bernapas', misalnya dengan adanya penurunan tingkat suku bunga kredit, penundaan pembatasan penggunaan pertalite, dan lain-lain," saran Esther.
Selain itu, ada empat solusi lain yang ia beberkan, di antaranya pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan moneter. Dengan begitu, ia menilai Bank Indonesia bisa menambah jumlah uang yang beredar dalam masyarakat.
Kedua, mengutip dari CNN Indonesia, Esther meminta adanya politik diskonto. Ini harus diambil dengan menurunkan tingkat suku bunga bank sehingga masyarakat akan menarik tabungan mereka.
"Menurunnya tingkat suku bunga akan membuat investor menarik sejumlah dana dan memilih mencari laba melalui bisnis konvensional. Sehingga jumlah uang yang beredar dalam masyarakat akan bertambah," jelas Esther.
Ketiga, penerapan kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi disinflasi. Bentuknya berupa pengelolaan dan pembuatan strategi agar kondisi perekonomian menjadi lebih baik. Pemerintah Indonesia juga bisa mengatur dan memperbarui pendapatan serta pengeluaran negara saat ini. Esther menegaskan ini bisa menjadi langkah penting mengatasi penyakit deflasi. Dan yang terakhir adalah implementasi kebijakan nonmoneter.