“Kesulitannya adalah mendapatkan kain dengan harga yang bisa masuk ke pasar. Pembuatan tradisional memang menghasilkan kualitas tinggi, tapi harga pokoknya juga tinggi. Ini yang membuat sulit bersaing di pasar luas,” jelasnya.
Bagi Deden, inovasi menjadi kunci agar wastra terus diminati. Adaptasi desain yang mengikuti tren global dapat menjaga relevansi kain tradisional di mata konsumen modern.
Ia juga menekankan pentingnya memahami filosofi di balik setiap kain daerah.
“Ada bahan yang tidak bisa dipecah atau dipotong sembarangan. Desain ready to wear dari wastra harus tetap bisa dipakai, tapi tetap mempertahankan nilai budaya,” ujarnya.
Tak hanya soal desain, Deden menilai keberhasilan desainer muda ditentukan oleh karakter, fokus, dan kemampuan mengelola bisnis.
“Seorang seniman harus mengerti bisnis, dan seorang pebisnis harus mengerti seni. Dua hal ini harus berjalan bersama. Fokus dan konsistensi itu penting agar bisa bertahan di industri ini,” tegasnya.
Melihat potensi besar wastra, Deden optimistis masa depannya akan cerah jika ada dukungan dari pemerintah, kolaborasi lintas sektor, dan semangat generasi muda.
“Dengan kolaborasi yang tepat, wastra Indonesia bisa terus bertahan, berkembang dan dikenal di panggung internasional,” pungkasnya.
Baca Juga: Parade Wastra Nusantara 2025: Kemenparekraf Dorong Wastra Jadi Kekuatan Ekspor dan UMKM Nasional