Founder Cimory Group, Bambang Sutantio, mengungkapkan kesadarannya terhadap ancaman yang disebut sebagai kutukan generasi ketiga, yakni fenomena di mana bisnis keluarga besar kerap runtuh pada generasi penerus ketiga.

Ia menilai, kegagalan banyak perusahaan keluarga bukan semata karena faktor eksternal, melainkan karena kesalahan fokus dari generasi penerus yang lebih mementingkan kekuasaan dibandingkan kelangsungan perusahaan.

Baca Juga: Founder Cimory Group: Investasi Terbaik Bukan pada Bisnis, tapi pada Anak-anak

“Salah satu akar masalah dalam keruntuhan bisnis keluarga itu ketika anak cucu lebih berpikir how to grow my power daripada how to grow the company,” ujar Bambang.

Menurutnya, begitu konflik kekuasaan muncul di dalam keluarga, kehancuran bisnis tinggal menunggu waktu.

Sebagai langkah antisipatif, Bambang menegaskan bahwa Cimory Group menerapkan sistem tata kelola korporasi yang disiplin, di mana setiap anak atau generasi penerus ditempatkan di unit usaha berbeda. Ia sengaja tidak menempatkan mereka dalam perusahaan yang sama untuk mencegah potensi gesekan atau perebutan jabatan.

Baca Juga: Mengenal Bambang Sutantio, Pengusaha di Balik Merek Cimory dan Kanzler yang Terkenal

“Anak saya tiga, semuanya saya pisah-pisah. Satu yang pinter marketing, satu di produksi, satu di bidang lain. Kalau satu perusahaan isinya saudara semua, ujung-ujungnya bisa berantem,” ungkapnya.

Bambang menilai, pengelolaan bisnis keluarga harus dijalankan layaknya korporasi publik agar keberlanjutan perusahaan tidak bergantung pada hubungan keluarga semata. Karena itu, Cimory Group telah mengambil langkah strategis dengan go public, sekaligus menyiapkan sistem suksesi keluarga sejak dini.

“Saya dari awal selalu bilang ke anak-anak, kerja dulu, belajar dari awal, mulai dari business development. Tapi pelan-pelan kita lepas, biar mereka bisa running the show,” jelasnya.

Baca Juga: Liburan Sekolah Makin Seru, Chatime Gandeng Cimory Luncurkan Menu Yogurt Spesial

Meski telah mempercayakan operasional perusahaan kepada anak-anaknya, Bambang menegaskan bahwa dirinya tetap memegang kendali sebagai pemegang saham mayoritas. Ia berperan sebagai presiden komisaris yang memastikan arah perusahaan tetap selaras dengan nilai dan visi keluarga.

“Waktu kami go public, ada investor luar negeri tanya, kenapa saya enggak jadi CEO. Saya jawab, family succession, if you don’t plan early enough, one day it’s getting too late. Kalau sudah terlambat, anak-anak berantem, enggak bisa diselesaikan lagi,” tuturnya.

Menurut Bambang, banyak bisnis keluarga hancur bukan karena pasar atau pesaing, tetapi karena konflik internal yang tak terkendali. Ia berharap pendekatan yang ia terapkan di Cimory Group dapat menjadi contoh bagi perusahaan keluarga lain agar tetap bertahan lintas generasi.

Baca Juga: Cerita di Balik Suksesnya Cimory: Bawa Misi Berdayakan Peternak hingga Tak Lelah Berinovasi

“Kalau sudah terjadi konflik, tidak ada lagi yang berpikir untuk membesarkan perusahaan. Yang ada hanya bagaimana memperbesar kekuasaan,” tegas Bambang, “makanya dari awal, kita harus sadar penyakit ini, dan siapkan obatnya sebelum terlambat.”