Untuk menangani persoalan ini, Kementerian Kesehatan Timor Leste tidak mengandalkan pendekatan medis semata. Intervensi dilakukan secara komprehensif melalui keluarga dan komunitas kecil.
“Dokter itu ditempatkan di keluarga, di komunitas kecil, supaya mengerti status mental setiap keluarga. Status ekonominya, status kemakmurannya,” jelas dr. Flavio.
Ia menegaskan, kondisi sosial dan ekonomi yang tidak diperbaiki akan memperparah masalah kesehatan mental. Karena itulah, pendekatan kesehatan mental di Timor Leste bersifat kompleks dan multidimensi.
“Model yang di Timor Leste itu untuk kesehatan mental sedikit kompleks, tidak seperti biasanya,” katanya.
Selain itu, Timor Leste juga membutuhkan tenaga psikoterapis dalam jumlah besar untuk memperkuat intervensi individu dan komunitas. Dikatakannya, pemerintah setempat menjalankan program Supportive Care untuk menjawab kebutuhan tersebut.
“Yang kita butuh itu psikoterapis, yang tahu bagaimana mengintervensi di individu dan komunitas. Karena banyak yang datang ke rumah sakit, secara fisik sehat, tapi masalahnya ada di mental,” ungkapnya.
Ia pun mengatakan bahwa kasus gangguan mental ini paling banyak ditemukan pada kelompok usia dewasa produktif, yakni di atas 35 tahun.
“Rata-rata usia dewasa, 35 tahun ke atas. Itu yang paling banyak, angkatan produktif,” katanya.
Dalam penguatan layanan kesehatan mental, Timor Leste juga menjalin kerja sama dengan pihak Indonesia, baik dalam supportive care maupun palliative care.
Namun dr. Flavio menegaskan, kesehatan mental masih menjadi 'wake up call' yang selama ini luput dari perhatian dalam perjalanan pembangunan negara.
“Ini sesuatu yang kita lupa. Tapi ini wake up call, supaya kita melihat kembali bahwa ternyata masalah mental itu kita lupa intervensi dalam perjalanan kita sebagai negara,” tuturnya.
Ia berharap, mahasiswa Timor Leste yang menimba ilmu di Indonesia, termasuk di Universitas Indonesia, dapat membawa perubahan cara pandang terhadap penanganan kesehatan mental di dalam negeri.
“Kami berharap teman-teman yang lagi kuliah di UI, pola pikirnya berubah. Jangan hanya seperti rutinitas yang ada di Indonesia, tapi lihatlah kembali persoalan di dalam negeri, karena mereka hidup tiap hari dengan itu,” ujarnya.
Menurut dr. Flavio, memutus trauma lintas generasi itu tidak bisa dilakukan dengan satu pendekatan saja. Diperlukan intervensi di berbagai level, mulai dari kesehatan, politik, hingga masyarakat.
“Cara memutus itu rantai generasi, kalau kesehatan mental harus intervensi, kesehatan politik harus intervensi di level politik, dan masyarakat pun harus punya mekanisme sendiri untuk menerima kejadian dan keadaan itu. Jadi ini harus multidimensional approach,” tegasnya.
Ia pun menutup dengan optimisme bahwa dari upaya serius dan ilmiah, bukan tidak mungkin akan lahir temuan besar yang bermanfaat bagi dunia.
Baca Juga: 7 Cara Menjaga Kesehatan Mental Agar Tetap Stabil dan Lebih Tangguh