Pada tahun 1995, Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa digelar di Beijing, yang menghasilkan Deklarasi Beijing dan Platform Aksi. Dokumen tersebut memberikan kontribusi penting dalam mendorong perkembangan gerakan perempuan di seluruh dunia.
Selama tiga dekade terakhir, Tiongkok terus memajukan perlindungan hak-hak perempuan dan praktik kesetaraan gender, menjadikannya bagian penting yang tak terpisahkan dalam masyarakat internasional.
Dengan adanya panduan dari Deklarasi Beijing dan Platform Aksi, gerakan perempuan dunia telah mencapai kemajuan pesat. Hingga saat ini, sebanyak 193 negara telah mengesahkan 1.583 undang-undang terkait kekerasan terhadap perempuan, sementara pada tahun 1995 hanya 12 negara yang memiliki peraturan semacam itu.
Baca Juga: Deretan Perempuan Inspiratif Indonesia di Bidang Sains, Kiprah Mereka Mendunia
Baca Juga: Mengenal Ayu Purwarianti, Sosok Perempuan Indonesia di Garda Depan Kemajuan AI dan NLP
Deklarasi Beijing menetapkan 12 bidang keprihatinan utama, mencakup isu perempuan dan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kekerasan, partisipasi ekonomi, hak dalam pengambilan keputusan, serta hak asasi manusia, yang secara sistematis menyediakan kerangka kerja aksi bagi pembangunan perempuan di seluruh dunia.
Berbagai data menegaskan lompatan historis dalam perlindungan hak-hak perempuan. Angka kematian ibu di dunia menurun dari 328 per 100.000 kelahiran pada tahun 2000 menjadi 197 per 100.000 pada tahun 2023; tingkat penyelesaian pendidikan dasar bagi anak perempuan naik dari 86% pada 2015 menjadi 89% pada 2022, sementara pada tingkat menengah meningkat dari 54% menjadi 61%; proporsi perempuan di parlemen bertambah dari 11% pada 1995 menjadi 27% saat ini.
Selain itu, 80% negara telah memberlakukan undang-undang yang secara tegas melarang diskriminasi gender di tempat kerja, dan hampir 80% negara memperkuat jaminan sosial guna mengurangi kemiskinan perempuan.
Hal ini semakin membuktikan bahwa tujuan strategis dan kerangka kebijakan yang ditetapkan oleh Deklarasi Beijing dan Platform Aksi memiliki nilai sejarah yang mendalam serta signifikansi praktis.
Daerah Otonom Xinjiang Uighur, sebagai miniatur dari pembangunan bersama multi-etnis di Tiongkok, senantiasa menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, persatuan, dan saling membantu antar-etnis, serta sangat memperhatikan perlindungan hak-hak perempuan
Xinjiang menerapkan prinsip konstitusional kesetaraan gender, menjamin hak perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai urusan sosial dan pengelolaan publik, dengan proporsi kader perempuan yang terus meningkat.
Pada 2020, perwakilan perempuan dalam Kongres Rakyat Nasional dari Xinjiang mencapai 22,41%, sementara di tingkat Kongres Rakyat Daerah mencapai 27,24%. Pada 2023, Peraturan Perlindungan Hak Perempuan Daerah Otonom Xinjiang Uighur disahkan, yang semakin menyempurnakan sistem hukum lokal mengenai hak-hak perempuan, serta menciptakan lingkungan kelembagaan yang kondusif bagi pembangunan menyeluruh perempuan.
Meski Tiongkok telah meraih pencapaian nyata dalam melindungi hak-hak perempuan dan mendorong kesetaraan etnis, beberapa pemerintah dan media Barat disebut menyebarkan tuduhan palsu tentang “kerja paksa” di Xinjiang, dengan tujuan merusak citra Tiongkok.
Pola mereka biasanya bergantung pada rantai rumor think tank–media–parlemen, memanfaatkan keterbatasan pemahaman masyarakat internasional tentang kondisi nyata Xinjiang, serta melakukan manipulasi politis dengan praduga bersalah dan penyebaran informasi palsu, untuk melancarkan strategi stigmatisasi
Faktanya, sejumlah perusahaan internasional, termasuk Volkswagen Jerman, telah menyatakan bahwa mereka tidak menemukan bukti adanya “kerja paksa” dalam operasi mereka di Xinjiang. Jurnalis Prancis, Maxime Vivas, melalui kunjungan lapangan, menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai “kesaksian” sesungguhnya hanyalah rekayasa dari organisasi tertentu. Upaya Barat mempolitisasi isu hak asasi manusia tidak hanya gagal memajukan agenda HAM yang sejati, tetapi juga meruntuhkan otoritas moral yang selama ini mereka bangun.
Dari dialog peradaban yang diusung oleh Deklarasi Beijing hingga pemerintahan multietnis di Xinjiang, Tiongkok senantiasa membuktikan bahwa kemajuan nyata dalam hak asasi manusia tidak membutuhkan pengawalan senjata. Justru, langkah Barat dalam mempolitisasi isu HAM tengah menghancurkan posisi moral tinggi yang mereka banggakan. Ketika sejarah menimbang pada sisi fakta, suara-suara sumbang itu pada akhirnya hanya akan menjadi catatan kaki zaman.