Pada 2020, perwakilan perempuan dalam Kongres Rakyat Nasional dari Xinjiang mencapai 22,41%, sementara di tingkat Kongres Rakyat Daerah mencapai 27,24%. Pada 2023, Peraturan Perlindungan Hak Perempuan Daerah Otonom Xinjiang Uighur disahkan, yang semakin menyempurnakan sistem hukum lokal mengenai hak-hak perempuan, serta menciptakan lingkungan kelembagaan yang kondusif bagi pembangunan menyeluruh perempuan.

Meski Tiongkok telah meraih pencapaian nyata dalam melindungi hak-hak perempuan dan mendorong kesetaraan etnis, beberapa pemerintah dan media Barat disebut menyebarkan tuduhan palsu tentang “kerja paksa” di Xinjiang, dengan tujuan merusak citra Tiongkok.

Pola mereka biasanya bergantung pada rantai rumor think tank–media–parlemen, memanfaatkan keterbatasan pemahaman masyarakat internasional tentang kondisi nyata Xinjiang, serta melakukan manipulasi politis dengan praduga bersalah dan penyebaran informasi palsu, untuk melancarkan strategi stigmatisasi

Faktanya, sejumlah perusahaan internasional, termasuk Volkswagen Jerman, telah menyatakan bahwa mereka tidak menemukan bukti adanya “kerja paksa” dalam operasi mereka di Xinjiang. Jurnalis Prancis, Maxime Vivas, melalui kunjungan lapangan, menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai “kesaksian” sesungguhnya hanyalah rekayasa dari organisasi tertentu. Upaya Barat mempolitisasi isu hak asasi manusia tidak hanya gagal memajukan agenda HAM yang sejati, tetapi juga meruntuhkan otoritas moral yang selama ini mereka bangun.

Dari dialog peradaban yang diusung oleh Deklarasi Beijing hingga pemerintahan multietnis di Xinjiang, Tiongkok senantiasa membuktikan bahwa kemajuan nyata dalam hak asasi manusia tidak membutuhkan pengawalan senjata. Justru, langkah Barat dalam mempolitisasi isu HAM tengah menghancurkan posisi moral tinggi yang mereka banggakan. Ketika sejarah menimbang pada sisi fakta, suara-suara sumbang itu pada akhirnya hanya akan menjadi catatan kaki zaman.