Pengusaha kawakan Tanah  Air, Ciputra kembali mengenang kehidupannya masa kecilnya bersama orang tuanya di Bumbulan, Gorontalo.

Perjalanan hidupnya di masa lampau itu masih tersimpan rapi dalam ingatannya, keindahan alam di pantai Bumbulan di belakang rumahnya hingga kehidupan keluarga yang harmonis semuanya terpatri rapi di dalam kepalanya. 

Desa Bumbulan menjadi tempat bagi Ciputra mendekatkan diri dengan orang tuanya, sebelumnya mereka tinggal di Parigi, di sana Ciputra  hanyalah seorang anak polos yang belum mengerti apa-apa. Kini ia sudah beranjak remaja dan mulai memahami lingkungan sekitarnya. 

Baca Juga: Tentang Wasiat Terakhir Sang Kakek dan Masa Kecil Ciputra di Bumbulan

“Di Bumbulan saya semakin mengenali karakter orangtua saya. Papa, benar kata Engkong, adalah laki-laki yang sungguh baik, bijaksana, simpatik, dan penuh tanggung jawab. Ia sangat menghargai kehidupan,” kata Ciputra dilansir Olenka.id Selasa (3/6/2025). 

Pekerja Keras dan Dermawan

Pekerja keras dan dermawan sudah menjadi ciri khas sang ayah, ia sama sekali tak membiarkan waktunya terbuang begitu saja, seluruhnya dimanfaatkan untuk bekerja dari pagi hingga sore hari. 

Di berbagai kesempatan ia juga menyempatkan diri untuk berbagi kepada warga setempat yang kurang mampu, kadang-kadang ia memberi mereka kain untuk menjahit pakaian, maklum harga kain waktu itu mahal dan sukar dijangkau, kadang ia juga membagikan sembako yang kesemuanya ia ambil dari toko miliknya. Sang ayah tak pernah takut merugi.   

"Nyong, kadang kecukupan rezeki kita tidak datang dari hitung-hitungan dagang. Dengan memberi pada mereka yang tak mampu maka hidup kita juga akan terpelihara..."kata Ciputra mengulang pernyataan ayahnya. 

Dikenal dengan karakter pekerja keras dan dermawan membuat keluarga Ciputra sangat dihormati, tak jarang warga desa mengunjungi toko mereka hanya untuk sekadar meminta masukan dan saran sang ayah yang bijaksana itu. 

“Penduduk desa begitu menghormati Papa karena kebijaksanaannya. Banyak orang datang ke rumah dan meminta nasihat. Saya masih ingat bagaimana Papa duduk penuh wibawa di toko dan memberi saran bagi para tetangga yang punya masalah. Suara Papa tegas, lembut, dan jernih,” ujarnya. 

Ayah Ciputra adalah pengusaha toko kelontong, itu bukan miliknya, ia hanya mendapat kepercayaan dari ayahnya atau dari kakek Ciputra untuk mengelola usaha tersebut. Meski bekerja untuk ayahnya namun ia selalu menempatkan diri layaknya sebagai seorang karyawan profesional, seluruh pengeluaran dan pemasukan ia bukukan dengan rapi untuk dikirim kepada sang ayah, itu rutin ia lakukan setiap bulan. 

“Salah satu yang juga saya kagumi dari Papa adalah profesionalismenya dalam bekerja. Ia sangat well-organized dan rapi bekerja. Ia menata barang-barang dagangan di tokonya dengan sangat rapi dan mencatat keluar masuk uang setiap malam,” kata Ciputra,

Baca Juga: Awan Mendung dan Ujian Mahaberat Pernikahan Orang Tua Ciputra

“Tulisan Mandarin-nya sangat indah dan rapi. Ia mencatat di beberapa buku besar dan tebal. Sebulan sekali. ia mengirim buku-buku berisi catatan tangannya ke Gorontalo, untuk dibaca Engkong. Walau bekerja untuk ayah sendiri, Papa melakukan pencatatan sangat rapi seperti yang dilakukan seorang karyawan pada pimpinannya. Ia profesional dan bertanggung jawab,” tambahnya.

Bukan Ayah yang Rewel

Masa-masa di Bumbulan menjadi salah satu cerita paling indah bagi Ciputra, ia sangat  menikmati kedekatan bersama orang tuanya. Ia kenal betul karakter laki-laki panutannya itu. 

Selain pekerja keras, ia juga dikenal sebagai seorang penasihat kalem, kata-katanya lembut menggambarkan kasih sayang, namun mampu menembus relung hati.  

“Ia bukan tipikal pemberi nasihat yang rewel. Sama sekali tidak cerewet memberitahu kami ini dan itu,” kenang Ciputra.

Sang ayah mengambil peran selayaknya sebagai orang tua, ketimbang membebani anak-anaknya dengan  menghujani mereka dengan nasihat panjang lebar, ia memilih memberi contoh untuk diteladani sambil sesekali memberi wejangan singkat.  Pola asuh seperti ini sukses besar di terapkan di tengah keluarga Ciputra. 

“Gerak-gerik dan teladannya telah cukup menginspirasi kami. Kadang, secara khusus ia menasehati kami. Wejangannya melulu soal kerja keras dan tanggung jawab hidup,” ujar Ciputra.

"Kau tahu, Nyong. Semua manusia di dunia ini harus berjuang untuk bisa hidup. Selain mencukupi hidupmu dengan materi, kau juga perlu memiliki martabat. Itu sebabnya kau harus menjadi orang yang memiliki sikap baik," lanjut Ciputra mengulangi ucapan ayahnya. 

Mengenang Ibu

Selain mengenal bapak lebih jauh, Ciputra juga menjadi lebih tahu watak dan karakter ibu setelah mereka pindah ke Bumbubulan. 

Dari sini Ciputra mulai paham, jika ayah adalah tiang penyangga yang menopang keluarga maka ibu adalah atap yang menaungi seisi rumah dengan kelembutan hatinya. Tak hanya itu, ibunya juga adalah seorang pekerja keras yang selalu siap  sedia dan memastikan semua urusan di dalam rumah beres.  

“Mama seorang perempuan yang lembut dan pekerja keras. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk kami. Jika saya harus menyebutkan apa ciri khas Mama, maka saya bisa menyebutkan: ia selalu bekerja,” ujar Ciputra. 

“Bekerja dan bekerja. Ia perempuan yang rajin dan penuh pengabdian. Konon, keluarganya memang tipikal keluarga yang sangat rajin. Kerajinan itu pula yang membuat Papa jatuh hati pada Mama. Ia kagum ada seorang perempuan cantik yang begitu suka bekerja dan hemat,” tambahnya. 

Bagi Ciputra, ibu adalah sosok malaikat. Ia bergumul sepanjang hari seutuhnya untuk kebaikan keluarga. Ia memastikan anak-anaknya berada dalam keadaan baik.

“Mama bangun pagi-pagi sekali dan sudah menghidupkan dapur. Kami sudah menghirup asap sedap dari dapurnya bahkan ketika hari masih sangat gelap. Ia tidak banyak bicara. Setelah memasak ia sibuk membersihkan rumah. Ada saja yang ia kerjakan. Tidak pernah tampak menganggur. Di waktu luang ia menjahit pakaian kami. Mama sangat mengkhawatirkan kami,” katanya lagi. 

Baca Juga: Kehidupan Ciputra Kecil yang Keras di Gorontalo: Bak Dipenjara

Selain memastikan seisi rumah baik adanya,ibunda juga memastikan bahwa anak-anaknya tetap terkontrol dengan, ia bahkan rela mengorbankan jiwa raga untuk anak-anaknya, acap kali ia menangis sendiri ketika perangai anak-anaknya tak berkenan di hatinya. 

“Ia memeluk kami dan mengatakan lebih baik ia mati daripada melihat kami rusak karena kenakalan kami. Mama memang malaikat bagi kami,” ucap Ciputra.

Berkat kerja keras kedua orang tuanya, keluarga Ciputra hidup serba berkecukupan di Bumbulan kendati mereka bukanlah keluarga kaya raya. 

“Tak ada yang menyedihkan dalam kehidupan kami. Semua serba- cukup meskipun kami bukan orang kaya,” pungkasnya..