Pengusaha sukses Tanah Air, Ciputra mengalami cobaan berat dan sederet ujian sulit di masa lalu.Ia dan orang tuanya ditimpa musibah yang datang tak kenal kasihan, ia membelenggu keluarga Ciputra hingga berulang-ulang.
Dari cobaan demi cobaan itu, ujian terberat yang mengguncang keluarga Ciputra adalah kisah kematian saudara-saudaranya. Tak hanya sekali, keluarga Ciputra empat kali dirundung duka beruntun. Duka itu masih membekas sampai sekarang.
“Perkawinan Papa dan Mama berkali-kali diwarnai suasana mendung karena ujian mahaberat. Empat kali Mama melahirkan, empat kali pula anak-anaknya meninggal sebelum mencapai usia satu tahun,” kata Ciputra dilansir Olenka.id Rabu (28/5/2025).
Baca Juga: Ketika Ciputra Menyaksikan Sang Ayah Diculik Tentara Penjajah
Ke empat saudaranya yang berpulang merupakan abang dari Ciputra, itu artinya ia tak menyaksikan secara langsung kejadian itu karena ia belum lahir, namun Ciputra merasakan betul apa yang dirasakan orangtuanya setelah kehilangan empat orang anak yang masih balita.
“Saat kematian anak pertama, ia (ibunda Ciputra) masih bisa tabah. Lalu anak kedua meninggal, ia mulai terkejut. Entah karena sakit apa. Bagaimana mungkin dua anak lahir dan dua-duanya meninggal? Anak ketiga lahir, dan meninggal sebelum mencapai usia satu tahun. Sungguh sebuah pukulan mahahebat bagi orangtua saya. Anak keempat pun meninggal,” katanya.
Awan hitam benar-benar bergelayut di atas kehidupan keluarga Ciputra. Kematian empat anak menjadi sumber depresi yang tak terkira bagi ibundanya. Ia merasa bersalah. Merasa gagal. Merasa tak bisa melahirkan anak yang sehat. Bahkan orang-orang sekitar lingkungan tempat tinggal mereka bahkan sampai menyimpulkan bahwa keluarga Ciputra terkena tulah dan kutukan.
“Ada juga yang mengatakan mungkin rahim Mama bermasalah. Mereka yakin Mama tak mungkin memiliki anak yang bisa hidup lama. Empat anak saja bisa meninggal tak lama setelah dilahirkan. lebih baik tak hamil lagi. Buat apa. Pasti meninggal dunia lagi. Deraan kesedihan yang hebat menyiksa Mama. Begitu hebatnya stres yang ia derita hingga ia mengidap penyakit asma yang kronis,” ucapnya.
“Ia terus- menerus menangis dan mengira hidupnya memang ditakdirkan begitu gelap. Setelah kematian anak keempat, asma dengan buas menggerogoti tubuhnya hingga menjadi kurus. Ia sangat putus asa,” tambahnya.
Kesetiaan Sang Ayah
Kehadiran anak-anak untuk melanjutkan garis keturunan merupakan sebuah hal yang teramat penting bagi keluarga Tionghoa di masa lalu.Pandangan dan budaya seperti ini pula yang secara tak langsung menambah beban sang ibu dan menjerumuskannya pada tingkat stres yang lebih parah lagi.
Namun ada satu hal yang perlu diacungi jempol, itu adalah kesetian sang ayah, tak sedikitpun terbesit di benaknya untuk meninggalkan sang istri demi wanita lain yang secara biologis bisa memberinya keturunan. Ayah Ciputra tabah menghadapi kondisi ini meski di satu sisi sang istri meminta dan merelakannya untuk menikah lagi.
“Mama memohon dengan sangat agar Papa mau mencari wanita yang mau dinikahi dan memberinya anak. Papa jelas keberatan. Bagaimana mungkin ia melakukan sesuatu yang jelas-jelas akan melukai perasaan Mama,” ujarnya.
Kendati sang ayah tak mau menikah lagi, namun istrinya selalu memohon, menikah lagi dan memiliki anak dari perempuan lain adalah satu-satunya obat mujarab yang mengobati perasaan bersalah ibunda.
Sampai pada suatu saat, sang ayah luluh, ia menuruti permintaan itu dan menikahi seorang perempuan desa dari pelosok Gorontalo. Dari pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Tjie Tjien Lam.
“Mama berbahagia atas kelahiran Tjien Lam. Ia merasa Papa sudah terbebas dari tekanan perasaan karena tak kunjung mempunyai anak. Mama sama sekali tidak memikirkan perasaannya sendiri. Tak ada rasa sakit hati,” ucapnya.