Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, pada Hari Jumat, 23 Mei 2025, lalu melantik 22 pejabat eselon I di lingkungan Kemenkeu. Salah satu yang dilantik adalah Direktur Jenderal Pajak baru, Bimo Wijayanto, yang sebelumnya menjabat sebagai Asisten Deputi Investasi Strategis di Kemenko Marves.

Perombakan besar-besaran di jajaran Kemenkeu tersebut terjadi di tengah tantangan fiskal pada tahun 2025. Target pajak di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp2.183,9 triliun, sedangkan pencapaian pada triwulan 1 tahun 2025 hanya Rp322,6 triliun atau setara 14,7%. Padahal, kondisi ideal triwulan 1 seharusnya bisa mencapai 20% dari target pajak.

Baca Juga: Kemenkeu Sudah Siapkan Anggaran Kementerian Prabowo-Gibran

"Tantangan Fiskal tahun 2025 sangat kompleks. Dengan tim yang ada saat ini, pemerintah harus lebih memitigasi penerimaan negara agar aman karena penerimaan perpajakan ini menopang lebih dari 60% total belanja APBN," jelas Ajib Hamdani, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dikutip Senin (26/5/2025).

Ajib menjelaskan, penerimaan pajak pada tahun 2024 shortfall sekitar Rp50 triliun. Padahal, pada triwulan 1 tahun tersebut, pencapaian pajak mencapai 19,2%. "Jika kondisi pencapaian hanya bersifat ceteris paribus dan tanpa terobosan, potensi shortfall penerimaan pajak tahun 2025 mencapai Rp100 triliun lebih," ujarnya.

Paling tidak, ada lima (5) tantangan yang harus bisa dimitigasi dengan baik oleh jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang baru. Pertama, kondisi ekonomi yang cenderung melandai. Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya bisa mencapai angka konservatif 5,2% dikoreksi karena kondisi domestik dan global yang fluktuatif. Worldbank juga memproyeksikan pertimbuhan ekonomi hanya di kisaran 4,7%-4,9%. Proyeksi ini terkonfimasi pada pertumbuhan kuartal 1 tahun 2025 yang hanya mencapai 4,87%. Faktor pertumbuhan ekonomi ini akan memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan perpajakan.

Tantangan kedua adalah grey economy di Indonesia yang belum terdeteksi oleh sistem perpajakan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2024 sebesar Rp22.139 triliun. Lebih dari 54% PDB tersebut ditopang oleh konsumsi rumah tangga, atau kisaran Rp12.000 triliun. Di sisi lain, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2024 sebesar Rp828,5 triliun. Kondisi ini pun juga karena sebagian restitusi dimasukkan pada periode tahun selanjutnya. Dengan data-data tersebut, kisaran volume konsumsi sebesar Rp2.000 triliun sampai Rp4.000 triliun masih masuk grey economy.

"Tantangan ketiga adalah utang jatuh tempo tahun 2025. Akibat scaring effect pandemi, kondisi fiskal tahun ini terbebani utang jatuh tempo mencapai Rp800 triliun. Pemerintah sudah melakukan front loading utang sampai dengan April 2025 mencapai Rp250 triliun. Pemerintah harus lebih memitigasi agar secara agregat sampai akhir tahun, utang APBN tidak melebihi 3% dari PDB," saran Ajib.

Tantangan keempat adalah program-program ultrapopulis pemerintah yang akan potensial menambah alokasi pengeluaran. Program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan program 3 juta rumah memerlukan kajian komprehensif dalam pengalokasian pengeluaran tambahan dari APBN. Bahkan, di sisi lain, program pemerintah terkait Danantara, dinilai Ajib, juga mereduksi penerimaan negara yang sebelumnya dividen BUMN masuk ke negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menjadi dikelola secara mandiri oleh Danantara. Hal ini potensi mengoreksi penerimaan negara kisaran Rp90 triliun.

Tantangan kelima adalah sistem coretax. Sebuah sistem layanan perpajakan terintegrasi yang diharapkan mempermudah dan meningkatkan compliance wajib pajak, justru menjadi masalah tersendiri, paling tidak dalam proses berjalan sampai bulan Mei 2025. Ketidaksiapan sistem dan mitigasi risiko justru menjadikan cost compliance yang tinggi di sisi wajib pajak dan berkontribusi negatif terhadap penerimaan berjalan.

Perlunya Mitigasi Pemerintah

Dengan tantangan yang sudah diterangkan sebelumnya, Ajib menyarankan tiga (3) langkah yang perlu diambil pemerintah: pertama, memberikan daya ungkit ekonomi lebih cepat; kedua, mendesain ulang struktur belanja dengan prinsip spending better; ketiga, memperbaiki sistem, database, dan layanan terhadap wajib pajak. Menurutnya, coretax harus dievaluasi secara proporsional dan objektif untuk ke depannya.

Selain itu, pemerintah bisa mempertimbangkan dua (2) hal lain terkait kebijakan untuk menambal potensi shortfall penerimaan. Pertama adalah opsi membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) dan, kedua, adalah mendorong pemberlakuan tax amnesty jilid III. Hal ini bisa menambah potensi penerimaan negara kisaran Rp60 triliun sampai Rp130 triliun tambahan.

"Harapan dunia usaha, perombakan struktur di Kementerian Keuangan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang akseleratif sekaligus menciptakan iklim berusaha yang positif," pungkasnya.