Pemilik Mayapada Group Dato Sri Tahir punya pandangan yang sangat unik terkait berbagai berbagai bisnis yang ia geluti, ia sama sekali tak mau menakar keuntungan usahanya dari pendapatan yang masuk, keuntungan bisnis bentuknya bisa beragam, termasuk pengalaman.
Harus diakui, pandangan Tahir memang berbeda dengan kebanyakan pengusahaa pada umumnya, berbicara keuntungan selalu berkaitan dengan berapa nominal yang masuk ke rekening perusahaan. Namun Tahir memilih kacamata yang berbeda. Baginya berbisnis adalah seni yang membutuhkan keberanian dan ketepatan.
Baca Juga: Dato Sri Tahir: Perjuangan dalam Bisnis Itu Seperti Bermain Golf
Cara pandang yang demikian bikin Tahir kokoh, ia bagai batu karang yang tak goyah diguncang badai. Tahir sudah berulang kali diterpa cobaan berat namun ia selalu berhasil menemukan jalan keluar dari berbagai masalah bisnis yang mengepungnya.
Misalnya saja ketika dirinya dihantam kerugian total dari bisnis penjualan mobil gara-gara Salim Group menghentikan izin dealer untuk menjual mobil Suzuki. Insiden bisnis ini membuat Tahir terjungkal karena terlilit pinjaman di beberapa bank asing.
Tahir ketika itu mengajukan pinjaman yang lumayan besar pada sejumlah bank asing untuk mengembangkan usaha dealer mobil. Ia berani melakukan itu lantaran penjualan yang ia lakukan cukup menjanjikan, namun di luar prediksi izin penjualan Suzuki justru disetop. Tahir jatuh sejatuh-jatuhnya.
“Bisnis itu pun berakhir dan saya benar-benar terpuruk. Bukan sekadar rugi, tetapi rugi total,” kata Tahir dilansir Olenka.id Senin (19/5/2025).
Kendati keadaan menghajarnya tanpa ampun, tetapi Tahir merasa tetap mendapat keuntungan besar dari peristiwa yang teramat getir itu. Hatinya memang luluh lantak, tetapi kakinya tegar juga kokoh.
“ Apa yang membuat saya tetap tegak berdiri dan merasa "beruntung" berada dalam kondisi seperti itu? Itu memberi saya keuntungan yang unik. Itu adalah pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Itu mengajarkan saya untuk berhati-hati sebelum mengambil keputusan berisiko tinggi,” ujarnya.
Lebih Bijak dan Gegabah
Bukan baru sekali ini saja, pengalaman pahit ini sebelumnya juga sudah sempat menghantam Tahir dengan begitu kejamnya. Itu terjadi ketika ayah empat anak itu membangun Pabrik Duralex, dimana ia membangun usaha dengan skema yang sama; meminjam modal dari bank asing, padahal itu sangat berisiko.
Saat sedang merintis perusahaan tersebut, devaluasi tiba-tiba melanda Indonesia 1978 yang menyebabkan nilai tukar dolar melonjak dari Rp400 menjadi Rp650 , kenaikan lebih dari 50 persen itu memaksanya membayar pinjaman di bank asing itu dalam dolar. Tahir tamat.
Dua pengalaman pahit itu membuat Tahir menjadi menjadi lebih mawas diri, ia tak mau gegabah atau teledor lagi, segala sesuatunya mesti dihitung masak-masak. Tahir menjadi pengusaha yang jauh lebih bijaksana.
“Mengambil pinjaman bank yang besar hanya dengan mengandalkan satu bisnis adalah tindakan yang tidak bijaksana. Itu mengajarkan saya untuk menjauhi keputusan yang gegabah seperti itu,” katanya lagi.
“Kejadian itu mengajarkan saya untuk berhati-hati sebelum mengambil pinjaman mata uang asing. Kita tidak akan pernah tahu kapan awan moneter kelabu akan menimpa kita. Segala hal buruk mungkin terjadi,” tambahnya.
Selamat dari Krismon
Meski dua pengalaman pahit itu membuatnya tiarap, tetapi di sisi lain, kejadian tak mengenakan itu juga memberinya pengalaman hebat yang justru menyelamatkan Tahir dari kepungan Krisis Moneter (Krismon) pada 1977. Tragedi ekonomi itu tak memberi dampak berarti bagi Tahir, ia lolos dalam peristiwa tersebut.
Baca Juga: Cara Tahir Memandang Kekayaan: Itu Milik Tuhan, Dia Meminta Kita Mengelolanya dengan Baik
“Berkat pengalaman tersebut, saya bisa keluar dari krisis moneter tahun 1997 tanpa cedera. Bahkan dalam kehilangan total, kita harus memanfaatkan situasi ini. Ini bukan tentang seberapa besar kerugian yang kita derita, tetapi lebih tentang bagaimana kita bisa tetap bertahan dalam situasi terburuk yang kita alami,” ujarnya.