Menanggapi alasan Megawati yang menyinggung kesulitan pemakaman Presiden Soekarno di Taman Makam Pahlawan pada masa pemerintahan Soeharto, Arwani menyebut hal itu adalah pengalaman emosional yang manusiawi. Namun, menurutnya, kepentingan negara tidak bisa diukur dengan pengalaman pribadi.

“Kalau dendam pribadi dijadikan ukuran kebangsaan, nanti setiap keluarga mantan presiden bisa saling menolak. Padahal, Indonesia bukan negara dendam, tapi negara yang menjunjung perdamaian dan kebijaksanaan,” ucapnya. 

Arwani juga mengingatkan, hampir semua partai politik di Indonesia selalu menyerukan rekonsiliasi nasional dan perdamaian sosial. Karena itu, ia menilai perdebatan soal gelar pahlawan nasional seharusnya tidak menjadi alat reproduksi luka sejarah.

“Bukankah semua partai politik bicara soal perdamaian dan persatuan? Maka, konsistensi itu harus diwujudkan, bukan hanya diucapkan,” tambahnya.

Arwani juga menegaskan bahwa bangsa yang dewasa adalah bangsa yang berani mengakui jasa setiap pemimpinnya, tanpa harus terjebak pada bayang-bayang masa lalu.

“Saatnya kita berdamai dengan sejarah. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menghormati. Karena tanpa masa lalu, tak ada Indonesia hari ini,” tutupnya.