Rencana pembangunan Rempang Eco City di Pulau Rempang terus menuai sorotan publik. Proyek yang digadang-gadang menjadi kawasan industri dan ekonomi terpadu ini dianggap sebagai salah satu langkah strategis pemerintah untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, status proyek ini sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) menjadi salah satu hal yang memberatkan masyarakat lokal.
Pulau Rempang terletak di wilayah administratif Kota Batam, Kepulauan Riau, telah lama dihuni oleh masyarakat adat Melayu.
Baca Juga: Makmur Elok Graha Peringati Hari Bumi dengan Aksi Nyata di Pulau Rempang
Apa Itu Rempang Eco City?
Rempang Eco City adalah proyek pengembangan kawasan terpadu seluas 17.000 hektare di Pulau Rempang yang mencakup sektor industri, energi bersih, perdagangan, hingga pariwisata. Dikelola oleh BP Batam bekerja sama dengan PT Makmur Elok Graha (MEG), proyek ini menargetkan kawasan industri berbasis teknologi hijau dan ekonomi berkelanjutan.
Proyek ini menjadi sorotan sejak perusahaan asal Tiongkok, Xinyi Glass Holdings Ltd., menyatakan komitmennya untuk berinvestasi sebesar US$11,6 miliar guna membangun pabrik kaca dan panel surya. Total investasi proyek ini diperkirakan mencapai Rp381 triliun hingga tahun 2080.
Baca Juga: Pemerintah Relokasi dan Terbitkan SHM Bersumber dari HPL BP Batam untuk Warga Rempang
Pemerintah berharap proyek ini akan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan perekonomian lokal. Namun, banyak pihak mempertanyakan sejauh mana masyarakat setempat akan mendapatkan manfaat langsung dari proyek ini, mengingat sebagian besar penduduk Pulau Rempang adalah nelayan dan petani tradisional.
Status PSN, Apakah Masih Berlanjut atau Dicabut?
Status Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional memicu perdebatan. Menurut Ketua Panitia Kerja (Panja) BP Batam, Andre Rosiade, proyek ini masih tercantum dalam Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Andre menegaskan bahwa proyek ini tidak pernah dicabut dari daftar PSN, karena masih selaras dengan strategi pengembangan kawasan industri prioritas.
Namun, laporan media dan kelompok masyarakat sipil menunjukkan bahwa dalam RPJMN terbaru, nama Rempang tidak lagi tercantum secara eksplisit sebagai PSN. Hal ini memperkuat klaim bahwa proyek tersebut kehilangan dasar hukumnya sebagai proyek prioritas nasional.
Baca Juga: Deretan 8 Pengusaha Raksasa di Istana Kepresidenan: Anthoni Salim hingga Tomy Winata
Ketiadaan kejelasan mengenai status PSN ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan memperumit proses pelaksanaan proyek. Pemerintah perlu memberikan penjelasan resmi untuk menghindari spekulasi dan konflik yang berkepanjangan.
Janji Pemerintah dan Gagasan Relokasi
Pemerintah melalui BP Batam menyatakan komitmennya untuk menjalankan proyek ini dengan pendekatan humanis. Skema relokasi telah disiapkan, termasuk pembangunan rumah tipe 45 bagi warga terdampak di lokasi baru di Dapur 3, Sijantung. Selain itu, fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, dan rumah ibadah dijanjikan sebagai kompensasi relokasi.
Namun, warga Rempang yang telah mendiami pulau tersebut secara turun-temurun menolak keras relokasi. Mereka mengklaim memiliki hak adat atas tanah yang mereka tempati, dan menuding pemerintah mengabaikan sejarah serta keberadaan kampung tua di kawasan tersebut.
Penolakan ini juga didasarkan pada kekhawatiran bahwa relokasi akan memutuskan ikatan sosial dan budaya yang telah terjalin selama ratusan tahun di komunitas mereka.
Pendekatan Inklusif dan Kesejahteraan
Pemerintah berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan Rempang Eco City melalui pendekatan yang inklusif. Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkapkan bahwa selain dengan pendekatan yang inklusif, pengembangan Rempang Eco City juga harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Dengan begitu, proyek Rempang Eco City diharapkan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi di wilayah Batam dan sekitarnya. Terlebih lagi, Batam sejak awal turut menjadi etalase ekonomi bangsa karena berhadapan dengan negara maju tetangga Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia.
Menjadi bagian dari transformasi ekonomi, Rempang Eco City digagas untuk menekan angka kemiskinan hingga 60,42%. Tingkat pengangguran juga diharapkan dapat turun hingga 70,46%. Hal tersebut diwujudkan melalui pengembangan kawasan yang berfokus pada industrialisasi berbasis pengolahan dan manufaktur, menciptakan peluang investasi, serta membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat.
Konflik dan Penolakan Warga
Penolakan warga memuncak pada September 2023, ketika aparat keamanan mencoba memasuki wilayah pemukiman untuk mengukur dan menertibkan lahan. Bentrokan pun terjadi, menyebabkan sejumlah warga luka-luka dan puluhan lainnya ditangkap.
Organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI dan WALHI menuding pemerintah telah melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak proyek. Mereka menuntut agar Rempang Eco City dihentikan dan proses pembangunan dilakukan dengan mengedepankan prinsip keadilan ekologis dan sosial.
Baca Juga: Mengulik Hubungan Sugianto Kusuma dengan Tomy Winata
"Meskipun negara ada di langit, kami akan datangi, untuk memperjuangkan tanah dan ruang hidup kami," tutur Ishak, seorang warga Pulau Rempang.
Aksi-aksi penolakan terus berlanjut, termasuk demonstrasi di depan Kedutaan Besar Tiongkok dan Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, menunjukkan bahwa warga tidak akan mundur dalam mempertahankan hak mereka.
Perspektif Lingkungan dan Keberlanjutan
Meskipun mengusung nama "Eco City", para pemerhati lingkungan meragukan komitmen proyek ini terhadap keberlanjutan. Pembukaan lahan skala besar berisiko merusak ekosistem pulau, termasuk kawasan hutan dan pesisir yang menjadi habitat satwa langka.
Kajian dampak lingkungan yang menyeluruh belum banyak dipublikasikan secara terbuka, menimbulkan keraguan atas transparansi pengelola proyek.
Organisasi lingkungan seperti WALHI menyoroti bahwa pembangunan Rempang Eco City dapat mengancam keberlanjutan ekosistem lokal dan kehidupan masyarakat yang bergantung padanya. Mereka mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kembali proyek ini dengan mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang.
Tanpa pendekatan yang berkelanjutan dan partisipatif, proyek ini berisiko menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki dan konflik sosial yang berkepanjangan.
Rempang Eco City menjadi simbol dari tarik menarik antara ambisi pembangunan dan perlindungan hak masyarakat. Di satu sisi, proyek ini menyimpan potensi besar bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan investasi asing. Di sisi lain, konflik agraria, persoalan hukum, dan keluhan warga mengancam keberlangsungan proyek ini jika tidak diselesaikan dengan pendekatan partisipatif.
Ke depan, pemerintah dituntut lebih transparan, inklusif, dan adil dalam menjalankan proyek pembangunan besar seperti ini. Tanpa dialog terbuka dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal, proyek ambisius seperti Rempang Eco City berisiko menjadi preseden buruk dalam sejarah pembangunan nasional.