Konflik dan Penolakan Warga

Penolakan warga memuncak pada September 2023, ketika aparat keamanan mencoba memasuki wilayah pemukiman untuk mengukur dan menertibkan lahan. Bentrokan pun terjadi, menyebabkan sejumlah warga luka-luka dan puluhan lainnya ditangkap.

Organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI dan WALHI menuding pemerintah telah melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak proyek. Mereka menuntut agar Rempang Eco City dihentikan dan proses pembangunan dilakukan dengan mengedepankan prinsip keadilan ekologis dan sosial.

Baca Juga: Mengulik Hubungan Sugianto Kusuma dengan Tomy Winata

"Meskipun negara ada di langit, kami akan datangi, untuk memperjuangkan tanah dan ruang hidup kami," tutur Ishak, seorang warga Pulau Rempang.

Aksi-aksi penolakan terus berlanjut, termasuk demonstrasi di depan Kedutaan Besar Tiongkok dan Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, menunjukkan bahwa warga tidak akan mundur dalam mempertahankan hak mereka.

Perspektif Lingkungan dan Keberlanjutan

Meskipun mengusung nama "Eco City", para pemerhati lingkungan meragukan komitmen proyek ini terhadap keberlanjutan. Pembukaan lahan skala besar berisiko merusak ekosistem pulau, termasuk kawasan hutan dan pesisir yang menjadi habitat satwa langka.

Kajian dampak lingkungan yang menyeluruh belum banyak dipublikasikan secara terbuka, menimbulkan keraguan atas transparansi pengelola proyek.

Baca Juga: Kepulauan Seribu ‘Diserbu’ Wisatawan saat Libur Lebaran, Dishub Pelabuhan Muara Angke Siapkan Armada Tambahan

Organisasi lingkungan seperti WALHI menyoroti bahwa pembangunan Rempang Eco City dapat mengancam keberlanjutan ekosistem lokal dan kehidupan masyarakat yang bergantung padanya. Mereka mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kembali proyek ini dengan mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang.

Tanpa pendekatan yang berkelanjutan dan partisipatif, proyek ini berisiko menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki dan konflik sosial yang berkepanjangan.

Rempang Eco City menjadi simbol dari tarik menarik antara ambisi pembangunan dan perlindungan hak masyarakat. Di satu sisi, proyek ini menyimpan potensi besar bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan investasi asing. Di sisi lain, konflik agraria, persoalan hukum, dan keluhan warga mengancam keberlangsungan proyek ini jika tidak diselesaikan dengan pendekatan partisipatif.

Ke depan, pemerintah dituntut lebih transparan, inklusif, dan adil dalam menjalankan proyek pembangunan besar seperti ini. Tanpa dialog terbuka dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal, proyek ambisius seperti Rempang Eco City berisiko menjadi preseden buruk dalam sejarah pembangunan nasional.