Industri penerbangan Indonesia memasuki babak baru dengan kehadiran Indonesia Airlines (INA), sebuah maskapai yang berambisi membawa standar layanan kelas dunia ke pasar penerbangan nasional. Dengan konsep premium setara jet pribadi, INA menawarkan pengalaman terbang yang menggabungkan kemewahan dan efisiensi, khususnya pada rute-rute internasional. Kehadirannya tidak hanya menambah variasi pilihan bagi penumpang, tetapi juga menjadi tantangan bagi maskapai nasional yang telah lebih dulu beroperasi.

Dibentuk oleh Calypte Holding Pte. Ltd, perusahaan yang berbasis di Singapura dan bergerak di bidang energi terbarukan, penerbangan, serta pertanian, INA memulai perjalanannya dengan fondasi bisnis yang kuat. Dengan strategi berbasis data dan kolaborasi dengan konsultan penerbangan internasional, PT Indonesia Airlines Group siap menembus pasar global dari Indonesia. Lantas, bagaimana INA dapat berkembang dan bertahan di industri yang penuh tantangan ini?

Sejarah dan Proses Kehadiran Indonesia Airlines

Indonesia Airlines secara resmi didaftarkan sebagai PT Indonesia Airlines Group melalui notaris pada 7 Maret 2024, setelah melalui studi kelayakan bersama konsultan penerbangan dari Singapura dan Amerika Serikat. Iskandar, CEO Indonesia Airlines Group sekaligus Executive Chairman Calypte Holding Pte. Ltd, mengungkapkan bahwa INA akan berbasis di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, dan hanya akan melayani penerbangan internasional.

Baca Juga: Maskapai Pelat Merah Dikumpulkan Erick Thohir, Ada Apa?

“Berdasarkan perencanaan bisnis dan studi kelayakan yang telah dilakukan, Indonesia Airlines akan fokus pada penerbangan internasional dengan tahap awal mengoperasikan 20 armada yang akan didatangkan secara bertahap,” jelas Iskandar dikutip Olenka dari berbagai sumber pada Senin (24/03/2025).

Proses kehadiran INA dimulai dengan analisis pasar yang mendalam, mengidentifikasi peluang di sektor premium yang masih terbuka di Indonesia. Dengan memanfaatkan model bisnis yang lebih fleksibel dibandingkan maskapai nasional, INA memilih strategi operasi berbasis ASEAN Open Sky yang memungkinkan penerbangan lintas negara tanpa batasan ketat yang diterapkan pada maskapai domestik.

Untuk membangun ekosistem yang solid, INA menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk penyedia layanan perawatan pesawat, perusahaan katering penerbangan kelas atas, serta mitra distribusi tiket global. Persiapan intensif dalam rekrutmen tenaga kerja juga dilakukan dengan standar ketat, memastikan hanya tenaga profesional berpengalaman dari maskapai internasional terkemuka yang bergabung dalam tim INA.

Saat ini, INA masih berada dalam tahap finalisasi operasional, termasuk pengurusan izin penerbangan dan sertifikasi armada. Maskapai ini telah menerima pesawat pertama mereka pada awal Maret 2025 dan sedang melakukan uji coba penerbangan sebelum peluncuran resmi pada kuartal ketiga tahun ini.

Baca Juga: Prabowo: Harga Tiket Pesawat Harus Turun Lagi

Selain itu, INA sedang menjalin kerja sama dengan beberapa operator bandara di Eropa dan Asia Timur untuk memastikan layanan ground handling mereka memenuhi standar premium yang dijanjikan. Dengan strategi yang matang dan pasar yang jelas, INA berharap dapat mencapai target profitabilitas dalam waktu tiga tahun pertama operasionalnya.

Indonesia Airlines kini telah memasuki tahap perencanaan bisnis dan studi kelayakan sedang. Tak hanya itu, perekrutan staf pun sedang berlangsung. Melihat akun LinkedIn nya, Indonesia Airlines Group disebutkan memiliki kantor yang berada di BSD Raya, Tangerang Selatan.

Calon maskapai baru tersebut juga menyebut perusahaannya memiliki visi untuk "mengangkat kemewahan dan keanggunan di langit."

Maskapai tersebut lewat akun LinkedIn nya juga mengatakan akan mendefinisikan ulang perjalanan dengan layanan premium. Keselamatan adalah prioritas utama sembari berbagi keramahtamahan hangat warga Indonesia kepada dunia.

Armada dan Rute Penerbangan

Untuk menunjang operasionalnya, INA telah menyiapkan 20 pesawat yang terdiri dari:

  • 10 pesawat berbadan kecil: Airbus A321neo atau A321LR.
  • 10 pesawat berbadan lebar: Airbus A350-900 dan Boeing 787-9.

Dalam lima tahun pertama, maskapai ini merencanakan penerbangan ke 48 destinasi internasional di 30 negara, dengan fokus menghadirkan layanan premium setara jet pribadi. INA mengadopsi model bisnis yang mengutamakan eksklusivitas, menawarkan layanan yang lebih personal dibandingkan maskapai komersial biasa.

Untuk memastikan standar pelayanan tinggi, INA telah merekrut tim profesional dari maskapai global seperti Singapore Airlines, Emirates, dan British Airways. Direktur Operasionalnya adalah mantan pilot Airbus A380 dari Singapore Airlines, sedangkan direktur komersialnya memiliki pengalaman lebih dari 21 tahun di maskapai kelas dunia. Manajer awak kabin pun direkrut dari British Airways dan Emirates, yang dikenal dengan layanan premium mereka.

Regulasi dan Tantangan di Industri Penerbangan Indonesia

Sebagai maskapai yang berbasis di Singapura, INA dapat mengoperasikan penerbangan internasional dari Indonesia tanpa melanggar azas cabotage, yang melarang maskapai asing untuk beroperasi di rute domestik Indonesia. INA memanfaatkan hak angkut (Right Entitlement) yang dimiliki Singapura sesuai perjanjian Bilateral Air Service Agreement (BASA) dan Multilateral Air Service Agreement (MASA) dalam kebijakan ASEAN Open Sky.

Baca Juga: Virgin Australia Airlines Jadi Maskapai Internasional Pertama Gunakan SAF Pertamina

Namun, kehadiran INA menjadi tantangan tersendiri bagi maskapai nasional seperti Garuda Indonesia Group, Lion Air Group, dan Sriwijaya Air. Pasar penerbangan internasional, termasuk sektor haji dan umrah, dapat terdampak oleh masuknya maskapai asing yang menawarkan layanan lebih eksklusif dengan harga kompetitif.

Dalam lanskap regulasi ASEAN Open Sky, maskapai seperti INA memiliki fleksibilitas lebih besar dibandingkan maskapai domestik Indonesia. Namun, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan maskapai nasional. Saat ini, Indonesia telah memasukkan lima bandara utama dalam kesepakatan ASEAN Open Sky, sementara negara seperti Singapura dan Malaysia hanya memberikan akses terbatas bagi maskapai Indonesia.

INA kemungkinan akan menerapkan strategi penerbangan Right 3 dan Right 4, yang memungkinkan mereka menghubungkan penerbangan dari Indonesia ke negara lain melalui hub di Singapura. Jika strategi ini berhasil, maskapai nasional harus bersiap menghadapi persaingan ketat, terutama dalam segmen layanan premium dan rute internasional.

Perbandingan dengan BBN Airlines Indonesia

Sebelum INA, maskapai BBN Airlines Indonesia sempat mencoba masuk ke pasar penerbangan nasional. BBN Airlines memperoleh Sertifikat Operasi Udara (AOC) pada Maret 2023 dan berencana mengoperasikan 40 pesawat pada 2027. Namun, hanya dalam enam bulan beroperasi, maskapai ini menghentikan semua penerbangan pada Maret 2024.

Baca Juga: Perkuat Bisnis Aviasi di Kawasan Asia Tenggara, Garuda Indonesia-Singapore Airlines Perluas Kerja Sama Komersial

Menurut Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi, faktor utama kegagalan BBN Airlines adalah rendahnya tingkat keterisian penumpang. Beberapa rute seperti Jakarta-Surabaya dan Jakarta-Balikpapan hanya memiliki okupansi di bawah 50%, menyebabkan operasionalnya tidak berkelanjutan. Kini, BBN Airlines beralih menjadi penyedia jasa penyewaan pesawat, dengan Sriwijaya Air sebagai klien pertamanya.

Sebagai maskapai yang berbasis di Singapura tetapi beroperasi dari Indonesia, INA memiliki fleksibilitas regulasi dan model bisnis yang lebih adaptif. Apakah INA akan berhasil mengubah lanskap penerbangan nasional? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Yang pasti, kehadiran INA akan menjadi babak baru dalam persaingan industri penerbangan di Indonesia.