Dibeberkan Tahir, kondisi ini terus berlarut-larut hingga akhirnya meledak dalam bentuk krisis besar pada 1997–1998.
Tahir menilai, krisis ini bukan penyebab utama kehancuran ekonomi, tapi semacam ‘pendedahan besar’ terhadap cara berbisnis yang selama ini dianggap normal.
“Tanpa kasus tahun 1997-1998, cara konglomerat Indonesia mengerjakan bisnis, pasti bangkrut. Tidak perlu dilalui krisis. Karena cara dagang demikian, itu tidak pernah bisa langgeng,” tegas Tahir.
Tahir juga mengkritik mentalitas sebagian pelaku usaha yang menganggap uang pinjaman dari bank, terutama bank milik negara, seolah bukan kewajiban yang harus dikembalikan.
“Mungkin para pengusaha ini anggap bahwa meminjam uang dengan pemerintah, dianggap itu bank nenek moyangnya. Tidak perlu dibayar, tidak perlu dinilunasi,” ungkap Tahir dengan nada getir.
Bagi Tahir sendiri, krisis moneter 1997–1998 bukan sekadar gejolak ekonomi biasa. Ia memandang periode kelam itu sebagai momen kebenaran yang membuka ‘topeng-topeng semu’ dalam dunia bisnis. Ketika badai menghantam, barulah terlihat siapa yang berdiri di atas fondasi yang rapuh.
“Kasus tahun 1997–1998 sebetulnya adalah suatu ‘penelanjangan’, bagaimana bobroknya para konglomerat atau struktur fondasi ekonomi kita,” tutup Tahir dengan nada penuh keprihatinan.
Baca Juga: Stop Jadi Biasa! Ini Pesan Dato Sri Tahir Biar Hidup Kamu Luar Biasa